Opini  

MANUSIA DUNIA

Gowa. Mewarta.com. Islam menyatakan dunia sebagai suatu yang nyata, real, konkrit dan in actu, sebagai suatu conditio sine quanon sesuatu yang pasti dan harus ditempuh. Dengan demikian, seorang muslim bukanlah tipe manusia yang menganut konsep isolasi, menjadi seorang petapa (ascetisme), rahib, atau pendeta yang mencari keheningan budi dengan melepaskan fitrahnya mendunia.

Dengan mendunia, seorang muslim ingin menyatakan dirinya sebagai tidak saja sebagai homo erectus tetapi juga sebagai khalifah yang memiliki naluri Ilahiyah. Di dalam perjalanan mendunia itu pulalah seorang muslim mempersiapkan dirinya untuk menjawab semua tantangan dan berusaha menjadi pemenang, menjadi yang terbaik (the best). Apalagi, dengan sangat tandas, Al Qur’an menyatakan “Sesungguhnya Kami jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan,  karena Kami hendak menguji, siapakah di antara manusia yang paling baik pekerjaannya.” (QS 18 : 7).

Dunia adalah sesuatu yang melekat pada manusia Sesuatu yang niscaya, yang mau atau tidak mau harus ditempuh. Dunia adalah khas manusia, karena dunia adalah sesuatu yang disadari sepenuhnya sebagai refleksi existensi manusia. Apabila dikatakan dunia manusia, maka sebutan itu adalah sebuah gaya bahasa yang mubazir (pleonasme), berlebih-lebihan. Sebab, apabila kita bicara tentang existensi manusia, maka secara otomatis kita bicara dunia. Kita tidak bisa membayangkan manusia tanpa dunia, sebagaimana kita tidak akan mampu membayangkan dunia tanpa manusia

Kita sadar, bahwa sebagai seorang muslim harus ada upaya yang bersungguh- sungguh (jihad) untuk memuliakan diri dengan cara terjun ke dalam dunianya. Maka tampaklah di sini, bahwasanya dunia itu adalah sebuah refleksi dari upaya seorang muslim untuk meraih kehidupan yang hakiki yaitu akhirat dan dunia hanya sekedar sarana untuk mencapai puncak kebahagiaan. Sebagaimana Allah berfirman “Carilah apa yang diberikan Allah keselamatan di kampung akhirat, jangan engkau mengabaikan bagianmu didunia ini, berbuatlah kebaikan, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang membuat kenisakan” (Q.S. 28: 77).

Dari ayat tersebut di atas, nyatalah bahwa seorang muslim hanya bisa memuslimkan dirinya apabila dia mampu menempuh dunia Karena kebahagiaan yang hakiki dan abadi hanya bisa ditempuh apabila manusia mampu mendunia dengan mendaya gunakan akal, qalbu dan nafsunya secara proporsional, menundukkan dunia dengan berbuat baik dan mencegah upaya yang akan membawa kerusakan di muka bumi ini. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan ditengah-tengah manusia, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat kemunkaran, serta tetap beriman kepada Allah” (Q.S. 3 : 110)

Allah sudah menunjuk manusia sebagai khalifah, bahkan tidak ayal lagi bahwa umat Islam itu adalah umat yang terbaik (the best) di antara semua manusia. Tetapi keabsahan panggilan khalifah dan khaira ummah hanya mungkin di dalam mendunia. Pengertian mendunia berarti merefleksikan, sehingga tergambarlah dalam kesadaran kita bahwa misi seorang muslim itu harus merefleksikan dalam kenyataan (actual). Islam bukanlah konsep kertas yang sekali dibaca tuntas. Islam bukanlah sim salabim, tetapi dia adalah ajaran yang memiliki energi dengan merefleksikannya dalam dunia. Rasulullah sendiri berkata, “Bahwa dunia itu adalah ladangya akhirat”. Artinya setiap muslim harus mampu mendayagunakan dunia sehingga bertaburanlah benih-benih Al Birri dan At Taqwa sebagai amal shalih yang akan dipetik pada saat kehidupan yang sebenarnya ditempuh nanti (akhirat). Walau demikian, hendaknya tergambar pada pemahaman kita bahwa yang dia maksud menduniakan diri, bukanlah dimaksudkan untuk tenggelam Sebab mendunia adalah merefleksi, dan setiap refleksi tentulah mengenal kefanaan.

Refleksi itu ibarat kilatan cahaya ketika guntur menggelegar, cahaya berkilat diiringi gemuruh, kemudian senyap kembali. Untuk lebih memahami pengertian mendunia ini, maka dapat saya katakan bahwa dunia itu ibarat sebuah samudra yang harus ditempuh manusia untuk mencapai pulau harapan.

Mau atau tidak mau, manusia harus berenang di atas samudra tersebut, yang terkadang tentu saja ada bahaya gelombang yang dahsyat. Tetapi dengan kemampuan akal budinya, manusia mampu dengan gagah berani menempuh bahaya Tetapi apabila akal bergabung dengan hawa nafsunya, dan menyampingkan peranan kalbu, maka manusia akan cenderung kepada kelalaian. Sayangnya, banyak manusia telah tergoda oleh delusi keindahan samudra Terpikat pada isi samudra, kemudian lalai akan waktu dan bahkan dia tenggelam lebih dalam lagi dengan menyelam untuk menikmati delusi tersebut, lupa akan tujuan! Maka Allah dengan rahman rahim-Nya kembali memperingatkan manusia agar tidak tenggelam dalam delusi-delusi tersebut.

“Ketahuilah olehmu, bahwa kehidupan dunia ini hanyalah mainan, senda gurau, perhiasan, bermegah-megah antara sesama kamu, berlomba-lomba menumpuk kekayaan dan anak-anak. Perumpamaannya bagaikan hujan, yang menakjubkan petani melihat tanamannya tumbuh, kemudian tumbuhan itu menjadi kering dan engkau lihat kuning warnanya, lalu menjadi hancur. Dan di hari kemudian siksa yang sangat keras, ampunan dan keridhaan Allah. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan tipuan semata-mata (delusi).” (Q.S. 57 : 20)

Kendati Allah sendiri memerintahkan setiap manusia untuk tidak melupakan kebagiannya di dunia dalam rangka mencapai kehidupan yang hakiki yaitu kampung akhirat, tetapi manusia tetap diingatkan bahwa tujuan yang pertama dan utama (the ultimate goal) adalah akhirat. Dunia hanyalah sarana sebagai functional support untuk “mengakhiratkan dirinya. Dunia hanyalah alat yang harus dipakai untuk mencapai tujuan yang sebenarnya yaitu kemuliaan jiwa di akhirat. Dengan peringatan Allah, maka sekali kita bertambah yakin akan kasih sayang-Nya, bahwa manusia hendak dimuliakan, manusia harus melangit, manusia harus menjadi subyek di muka bumi. Sehingga tidaklah pantas bagi manusia harus tenggelam dalam dunia hasil kreasi dirinya sendiri.

Manusia harus mendunia, tetapi tidak boleh tenggelam di dalam kenikmatan dunia yang badani itu. Maka Allah senantiasa menyindir, memperingatkan manusia agar terhindar dari bahaya tenggelam, dengan menyatakan bahwa dunia itu hanyalah sebuah permainan, senda gurau, perhiasan (Q S 10:23, Q.S. 17:72, Q.S. 18:46, Q.S. 28:60, Q.S. 57:20), atau dapat kita katakan bahwa dunia itu hanyalah aktivitas yang fana, penuh dengan delusi, bukan kenikmatan yang real.

LANGIT, BUMI, DUNIA.

Di dalam Al Qur’an, kata langit, bumi. dunia seringkali diulang-ulang sedemikian rupa, seakan-akan ingin mengingatkan manusia akan makna yang terkandung di dalam ketiga konsepsi Qur’ani tersebut. Ketiga konsepsi ini, tentu saja tidak hanya sekedar presentasi makna secara leterral, tetapi di dalamnya mengandung makna philosofis, pengertian yang mendalam yang harus merangsang para ulil al baab untuk menggali hikmah yang tersirat dalam kandungan kata-kata tersebut (Q. S. 13:15). Di dalam ayat ini, ada satu yang menarik bagi kita bersama, bahwasanya ciptaan Allah itu tunduk kepada Allah, ada yang taat dan ada yang sukarela. Menurut pendapat saya, pengertian taat ini disini merujuk kepada kepastian yang karenanya pasif, sedangkan yang dimaksud dengan karhaan, sukarela dimaksudkan sebagai sunatullah yang aktif, boleh memilih.

Dengan pengertian tersebut, maka langit dan bumi termasuk ke dalam makhluk ciptaan Allah yang pasti taat mengikuti kadar dan sunatullah (hukum Allah). Sedangkan manusia tunduk kepada Allah dengan cara memilih, memiliki akal dan kalbu yang dinamis, sehingga karena ada sifat memilih itu dia terkadang salah pilih terjebak ke dalam delusi nafsu rendah.

Bumi dan langit, bartasbih dan sujud kepada Allah, sebuah manifestasi logis dari kadar (ukuran) Allah yang exax, pasti. Bumi dan langit tidak mungkin berontak terhadap kadar yang sudah dipastikan Allah untuk dirinya itu. Kalau batu kita lempar, maka mau tidak mau batu itu akan jatuh kembali ke bumi (gravitasi itu adalah kadar yang pasti). Tidak mungkin batu berontak!. Kendati kerbau dengan tanduk panjang sangat kuat dibandingkan dengan manusia, tetapi pernahkah kita memperoleh berita bahwasanya ada kerbau-kerbau bermusyawarah karena merasa hak azasi kekerbauannya terganggu? Pernyataan bumi dan langit sebagai mahluk yang pasti tunduk kepada sunatullah, ditempatkan Al Qur’an pada surat-suratnya yang sangat strategis, yang biasanya ditempatkan pada awal surat. (Q.S 57:1,Q.S.59:1,Q.S.61:1,Q.S. 87; 1). Maka tampaklah kepada kita bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang paling khas, bahkan paling mulia di antara ciptaan Allah yang lainnya

Ciptaan Allah selain manusia adalah standart, exax, mempunyai fitrah yang tidak mungkin menyimpang dari kadarnya Tidak saja bumi dan langit, tetapi juga malaikat, pohon dan binatang, semuanya pasti sujud kepada Allah. “Dan kepada Allah tunduk apa yang di langit dan di bumi, yaitu binatang yang melata, dan malaikat-malaikat, mereka tidak menyombongkan diri” (Q.S. 16:49, Q.S. 22:18). Begitu juga tanaman dan pohon-pohon keduanya tunduk (Q.S. 55:6). Manusia harus mendayagunakan nikmat Allah berupa bumi dan langit beserta sekalian isinya ini untuk mencari keridhaan dari Allah semata-mata. Manusia tidak boleh menghindarkan diri dari amanah ini, dan sekaligus tidak mungkin manusia itu harus tenggelam dalam dunianya, sebab dunia itu hanyalah batu uji untuk mencapai kemuliaan abadi yaitu ridha dari Allah.

Memahami manusia, apalagi terjun untuk mengetahui seluruh makna kita, memang sebuah misteri yang harus terus digali, agar kita memperoleh hikmah. Sebab itu, sesekali untuk merenung, berifikir sejenak adalah lebih baik daripada kita diri kita terus hanyut dalam gelombang yang terkadang tidak bisa lagi kita tebak ke mana arahnya. (Anwar. HM)