Gowa. mewarta.com. Lihatlah dengan mata batinmu. Simak dan menukiklah dengan bahasa nalarmu yang paling tajam sekalipun. Betapa hebat kandungan ibadah Haji. Sebuah ritual yang memuat kandungan hikmah dan kekayaan falsafah aktual dan universal. Batu hitam, benda mati yang secara fungsional tidaklah berbeda dengan batu yang lainnya kini berada di hadapanmu. Bukan untuk disembah, tidak pula untuk dijadikan jimat mantera ataupun maskot. Itu semua hanyalah sebuah pertanda, sebuah simbol bahwa Kita hidup dalam simbol-simbol, bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia tidak lebih dari symbolicum animalis, binatang yang pandai membuat simbol!
Kita tak hendak menyembah batu atau makhluk apapun, karena bagi kita pengabdian mutlak tuntas hanyalah kepada Allah. Ketika Umar bin Khatab melakukan tawaf, dia mencium hajar aswad, seraya berkata : “Wahai batu hitam! kalau bukan karena Rasulullah melakukan hal ini, tentu akupun tidak akan menciumu!” Ucapan Umar ini cukuplah membantah segala fitnah yang dengan kedangkalan ilmu dan hikmah telah menuding seakan-akan umat Islam menyembah batu.
Tanyakan pada setiap pribadi muslim yang sedang shalat, adakah dia merasakan dirinya sedang menyembah batu? Ka’bah batu purba yang mungkin juga meteorit dari langit itu, kemudian menjadi satu simbol arah (kiblat) umat Islam. Apabila kita mampu melangit kemudian menengok seluruh gerakan umat Islam yang sedang bershalat, lihatlah! Betapa panorama menakjubkan sedang berlangsung. Mereka semua bergerak dan berdiri menghadap kepada satu arah, Ka’bah !
Tanamkan di hati kita semua, bahwa ka’bah sebagai kiblat adalah sebuah simbol dari persatuan ummat, yang harus diaktualisasikan. Sehingga wujud dari umatan wahidah, umatan wasathan, bukan lagi hanya sekedar penyedap bumbu retorika, pemanis bahan seminar dan lips service belaka. Simak firman Allah (QS. 22: 27) adalah sebuah bukti monumental di mana dari seluruh pelosok dunia, berbagai warna kulit dan ragam budaya dan bahasa, kini berkumpul dalam satu ikatan tauhid diiringi takbir, tahlil dan talbiyah.
Disini ego telah hilang. Tidak ada lagi simbol status yang menunjukkan prestise dan segala gengsi. Karena di hadapan Allah hanyalah taqwa dan mahabbah serta prestasi amaliyahmu yang menjadi ukuran. Lantas kenapa umat Islam terpuruk dalam tafaruk, terpecah dalam kelompok, terbelenggu dalam kebanggaan kelompok vang kaku ?
Perpecahan dan kelompok terjadi dikarenakan berhaji tetapi tidak mampu menghayati makna haji, berihram tetapi tidak tahu apa maknanya, wukuf di Arafah untuk mengenal siapa diri kita, siapa pencipta kita, bagaimana posisi kita dalam perjalanan dunia ini, tetapi sungguh sangat disayangkan hikmah Arafah itu sedikitpun tidak memberi bekas di hati. Kemudian kita bertawaf puluhan putaran dari mulai yang wajib dan ditambah dengan yang sunnah tetapi sungguh sangat disayangkan emosi iman kita terlalu membucah tanpa arah dan kemudian tak mampu menangkap esensinya.
Haji adalah simbol dari sebuah perenungan universal dan sekaligus sebuah koreksi tahunan kepada diri kita semua sebagai bagian dan umat. Para pemimpin jama ah, ustadz, kiai dan siapapun yang mengklaim atu diklaim sebagai pemimpin umat hendaknya memahami benar makna dari wawasan universal agamanya.
Tak pantas kita terpuruk dalam kejumudan dan membanggakan atau menepuk diri seakan-akan kelompok kita, jama’ah kita yang terbaik. Selain dari kelompok atau jama’ah itu adalah batal dan haram. Sunguh tidak etis dan tidak pantas apabila ada sementara kelompok yang kemudian mengisolasi diri dari tantangan dunia, keragaman corak fikir dan budaya manusia, dan kemudian melakukan pelarian dengan membuat dinding tebal yang memutuskan tali ukhuwah dan silaturrahim.
Bukankah kita telah melihat di Mekkah itu. Berbagai kelompok dan keragaman faham serta corak budaya. Para ustadz, pimpinan pesantren, majelis ta’lim, ketua RT sampai Menteri dari tipe manusia yang rejekinya asal dapat, sampai konglomerat semuanya bersatu dalam satu tatanan, dalam satu etika kesopanan dan kesyahduan persaudaraan. Tetapi adakah kita menangkap makna yang tersirat dari semuanya ini? Adakah egosentrik kita telah habis dalam cahaya hikmah?
Lihatlah dengan mata batin kita yang paling tajam. Simaklah dengan nalar kita yang bersih. Betapa nelangsanya diri kita semua, terkotak-kotak dalam suatu kelompok, berderu dalam seteru, membuncah caci serapah, seakan aku, kita, yang paling baik!.
Maka karena ego kita, karena iman kita telah buta dari hikmah ukhuwah, kita tega untuk memutuskan barisan, dengan alasan imamnya bukan dari golongan atau jama’ah kita. Kita tega membuat shalat berjama’ah sendiri sendiri dengan alasan shalat jama’ah itu akan lebih afdhal apabila di dalam jama’ah sendiri. Kita habiskan puluhan juta rupiah untuk membuat masjid. Padahal beberapa meter dari rumah kita sendiri telah berdiri masjid rumah Allah yang karena kurang terurus lantas mau hancur. Janganlah berhenti bertawaf. Jangan berhenti berhaji. Jangan berhenti berihram!
Lakukanlah tawaf, ihram dan wukuf dalam kehidupan kita yang nyata! Ulurkan tangan persaudaraan. Peluklah siapapun yang kehausan mencari keteduhan llahiyah. Tebarkan bunga marhamah dan petiklah buah ukhuwah, Labaik allnhumma labaik, labaik laa syarika laka labaik! Suara talbiyah tidak boleh berhenti. Genderang batin terus menyanyikan irama indah ini, agar kita merasakan nikmatnya berhaji setiap detik.
TIGA TEMPAT MELEMPAR JUMRAH.
Karena berhaji memiliki nilai hikmah, maka renungkanlah makna jumrah di tiga tempat yang dilakukan. Jumratul Aqabah, Wustha dan Ula adalah lambang dari kejahatan yang selalu berdimensi tiga (trinitas). Kejahatan Fikiran, Emosi dan Nafsu. Keserakahan Harta, Tahta dan Wanita. Tipuan Intuisi, Gengsi, dan Posisi.
Lempar dan campakanlah trinitas yang jahat ini. Jangan dikuasai oleh tiga dimensi kedzaliman yang akan menggiring kita ke lembah nestapa yang digiring di atas keranda kesombongan. Benar, kesombongan adalah peti mati yang membuat umat terkotak dalam kebekuan yang memalukan. Sombong adalah the invisible satame way, metode setan yang dengan penuh tipu daya menyelusup sedemikian halusnya,
sehingga tidak sadai menempatkan manusia dalam kecongkakan terselubung. Kesombongan yang berselimutkan profil orang tawadhu. Kedengkian yang berjubahkan persaudaraan.
Maka renungkan ketika kita melempar jumrah. Sebuah ucapan yang dibaca oleh ribuan manusia yang menunaikan haji Bismillah, Allahu Akbar, terkutuklah wahai para segala sifat syaithaniyah. Sesungguhnya ridha hanya untuk Allah yang Pemurah. Ya Allah jadikanlah hajiku ini haji yang mabrur dan sa’i yang diterima.
Ketika kita melempar tiga buah batu itu ketahuilah bahwa maknanya kita sedang merajam sifat-sifat syaitaniyah yang mungkin selama ini bergelayutan di dalam diri. Bergelayutan di hati dan fikiran para pemimpin, ustadz, kiai, bahkan bersemayam nikmat di benak hati para tokoh yang mengaku imamnya para jama’ah.
Maka setelah kita melempar dan merasa puas, kitapun merasakan bahwa jiwa kita terbebaskan dari segala eksklusivitas kelompok karena isolasi dari umat bisa membawa bahaya kepada kesombongan dan kecongkakan. Setelah kita melempar lambang tiga sifat dominan syaitaniyah, sesuai berhaji menjadi putihlah diri kita terbebaskan dari belenggu kenistaan.
Gantilah pakaian akhlak kita, bersihkan hati kita dari segala kotoran batiniyah. Pakaian kesombongan dan jiwa srigala harus dirubah menjadi sifat air sejuk yang mengalir bening penuh tawadhu. Hidup yang bermahkotakan dunia kepalsuan segera berganti rupa menjadi mahkota dunia yang jujur dan berpendirian dalam menata perjuangan.
Berhaji adalah the symbols of sacred mission, sebuah karya monumental yang seharusnya mampu menggedor setiap pribadi yang berhaji dalam suatu revolusi mental yang tegas. Firman Allah di dalam surat Al Mudatsir (surat yang turun sebelum fase hijrah fisik), “maka hijrahkan dan bersihkan akhlakmu!
Berhaji bukan pula untuk mencari gelar dari masyarakat agar disebut sebagai Al-Hajj. Gelar haji apalagi mabrur adalah haknya Allah. Lagi pula rasanya kalau mau konsekuen jangan hanya satu gelar saja yang dipajang, sebaiknya ditulis semua lima gelar itu, misalnya : As Syahadatain wal mushallin, was shaimin wa zaka wal Hajj Bapak Drs. Ir. Abdul Miing bin Fulan ibnu Fulan dan kalau gelar itu disingkat, maka akan berderet titel . S.M.S.Z.H. Drs. Ir. Abdul Mnng bin Fulan (wah…hebat!). Menyebut-nyebut, “Saya tadi malam hebat lho, tahajud saya khusyuk bener”. Mengucap begini saja konon bisa menghapus ibadah shalat dan bahkan menjadi dosa riya. Lantas apa bedanya dengan membanggakan kehajian kita (bahkan konon, ada yang tersinggung kalau gelar hajinya terlupa tak disebut protokol).
Kalau saja ada 10 persen dari orang berhaji tersebut mampu membuat revolusi mental dan bercita-cita ingin menjadi teladan umat dan tampil sebagai mujahid-mujahid yang berpanjikan kejujuran, maka negeri ini akan aman tentram. Sebuah upaya untuk mengakselerasi baldatun thoyihah wa robbun ghofur bukanlah suatu target yang terlalu lama ! Insya Allah.
Kita tidak mempersoalkan apakah mereka itu haji abidin (atas biaya dinas), haji kosasih (ongkos dikasih), haji agus (akibat tanah tergusur), haji wahyu (sawah sudah payu). Itu semua hanyalah banyolan konyol yang bisa melecehkan nilai ibadah. Kita hanya ingin mengetuk para hujjaj dan mereka yang selalu bekerja keras dan menabung untuk berhaji.
Buktikan amalmu, tunjukkan keteladananmu, getarkan kejujuran hidupmu untuk menjadikan hidupmu penuh arti! Ketahuilah bahwa hidup ini harus berpihak dan berhadapan dengan berbagai alternatif, we only say merely either or. Maknanya di manapun kita berada, kita harus berpihak hanya kepada Allah. Apalagi orang yang telah berhaji!