Mewarta.com, Makassar — Sejak dalam empat dekade terakhir, langit politik Afghanistan terlihat mendung dan masyarakatnya hidup dalam masa kelam. Kelihatannya tidak ada hari pun bagi warganya dapat menghirup udara damai, ceria dan hidup terhormat di tanah airnya sendiri selama empat dekade. Bahkan baru saja 8 Oktober lalu, sebagaimana dilaporkan Reuters, bom bunuh diri kembali terjadi di masjid komunitas Muslim Syiah di Kota Kunduz, saat shalat Jumat digelar yang telah menewaskan 100 orang. Inilah tantangan nyata yang harus dihadapi oleh Taliban dalam menyusun pemerintahan barunya dengan secepatnya memulihkan situasi negaranya ke keadaan normal dan mentransformasi keadaan bangsanya yang penuh luka itu, ke tatanan kehidupan damai.
Sebagai refleksi, pada 24 Desember 1979, Uni Soviet mendekati Afghanistan dengan alasan pelaksanaan kesepakatan Soviet-Afghan Friendship Treaty 1978. Namun, tidak lama setelah itu, Soviet menginvasi Afghanistan selama satu dekade. Namun, di luar perkiraannya, Soviet menghadapi perlawanan tangguh dari kaum Mujahidin yang berbasis di pedalaman, dan dengan dukungan banyak pihak termasuk AS, akhirnya Soviet mundur dari Afghanistan.
Invasi itu telah mengakibatkan kerugian yang tidak ternilai dari kedua belah pihak. WUFA Journal of Free Afghanistan (1988) telah melaporkan tidak kurang 1,7 juta warga Afghanistan terbunuh dan jutaan lainnya melakukan eksodus ke negara lain sebagai pengungsi, umumya ke Pakistan dan Iran. Diperkirakan terdapat sekitar 6.5%-11.5% dari seluruh jumlah penduduknya terbunuh selama masa konflik. Perang ini juga telah menelan lebih 13 ribu korban jiwa dari pasukan Soviet. Kekalahan inilah yang dinilai menjadi faktor penyebab disintegrasi Uni Soviet dan berakhirnya era Perang Dingin.
Hal yang sama juga dialami oleh AS ketika menginvasi Afghanistan pada Oktober 2001, kerugian besar terjadi di kedua pihak. Didukung oleh pasukan koalisinya, seperti Inggeris, AS menginvasi Afghanistan dengan alasan akan menjatuhkan rezim Taliban yang dianggap pendukung Al-Qaedah yang dituduh sebagai eksekutor tragedi 9/11 yang telah merubuhkan dua menara kembar New York.
Dalam pernyataannya ketika mengakhiri perang di Afghanistan pada 31 Agustus 2021, di Gedung Putih, Presiden Biden menyatakan bahwa selama dua dekade, setiap hari AS telah menghabiskan $300 juta sebagai biaya perang. Diperkirakan juga terdapat lebih 64100 pasukan Afghanistan yang tewas sejak Oktober 2001, ketika perang dimulai. Juga diperkirakan lebih 3500 pasukan koalisi AS terbunuh, dan sekitar 111.000 warga sipil meninggal dan luka sejak awal invasi.
Dengan angka-angka itu, jika dihitung, selama empat dekade baik pada masa invasi Soviet atau AS, setiap hari terdapat 11 atau 12 orang meninggal sia-sia akibat perang. Selain korban jiwa, tidak ternilai pula kerugian ekonomi, sosial, dan kerugian lainnya dari kedua belah pihak.
Dengan diliputi suasana trauma masa lalu, Presiden Biden menutuskan untuk meninggalkan Afghanistan. Tidak lama setelah keputusan itu, Taliban mengambil alih pemerintahan negara itu, bahkan dua minggu sebelum AS menarik seluruh pasukannya meninggalkan airport Kabul. Inilah era baru Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban.
Beberapa Prediksi
Pertama, Taliban dapat secepatnya membentuk pemerintahan baru yang mendapat pengakuan masyarakat internasional. Hal ini dapat dicapai jika Talibatan mampu memulihkan kepercayaannya, khususnya yang terkait dengan hubungan masa lalunya dengan jaringan teroris al-Qaedah dan ISIS; mencegah radikalisme dan perdagangan obat terlarang; memulihkan keadaan negerinya ke kondisi normal dan membentuk pemerintahan yang inklusif, yang menjunjung tinggi supremasi hukum, keadilan, demokrasi dan HAM; dan memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak sesuai dengan standar HAM universal.
Semoga semua parameter ini, dapat menyatu dan terintegrasi dalam ajaran Islam sebagai agamanya yang moderat, toleran dan damai.
Prediksi kedua, China akan segera menggantikan peran AS di Afghanistan. Sebagaimana dilaporkan oleh media the Hill (30 Juli 2021), China terlihat tidak ragu bergerak cepat setelah mengetahui pasukan AS meninggalkan Afghanistan. Sebelum AS meninggalkan Afghanistan, sembilan pemimpin Taliban diundang oleh Menlu China Wang Yi untuk bertemu di Tianjin. Pertemuan itu sesungguhnya untuk mengatur strategi China menggantikan AS secepatnya dengan tanpa kendala.
Bagi China, ini adalah momentum untuk mewujudkan mimpi besarnya memperluas the China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) ke Kabul. India kelihatannya mendukung upaya China tsb.
Namun, satu pelajaran berharga, seperti dilaporkan Nikkei Asia (1 Mei 2020) bahwa investasi dan ambisi China di Afrika gagal. Berbagai investasi komersial China seperti pembangunan infrastruktur, bantuan pinjaman bank, ternyata telah menuai banyak sorotan dan kecaman. Dinilai China telah menerapkan kerjasama ekonomi yang memperlakukan negara-negara Afrika sebagai jajahannya untuk menguasai sumber ekonominya melalui jebakan pinjaman (debt traps).
Hal yang sama juga disadari oleh Australia sehingga secara sepihak pada April lalu membatalkan dua kesepakatan kerjasamanya dengan China yakni Belt and Road Initiative atau One Belt One Road (OBOR), tentu demi untuk menyelamatlkan masa depan negaranya dari ketergantungannya dengan China.
Jika China telah memperluas ekspansi ekonomi dan politiknya di mana-mana melalui jebakan pinjaman dan kerjasama ekonomi, tentu tidak menutup kemungkinan taktik seperti itu juga akan dilakukan di Afghanistan jika China berhasil menggantikan peran AS di negara itu.
Prediksi ketiga, Rusia akan kembali ke Afghanistan untuk menggantikan peran AS, meski ada trauma kegagalan Soviet di negara itu di masa lalu. Tidak lama setelah Taliban berhasil mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, President Putin menyampaikan komitmennya untuk bekerjasama dengan Taliban (BBCNews, 21 Agustus 2021). Alasan utama kebijakan Putin itu adalah untuk menjaga stabilitas kawasan, mencegah daerah perbatasannya dari pintu masuknya gerakan terorisme dan perdagangan obat terlarang.
Rusia berharap dapat mengontrol Afghanistan, khususunya di bagian utara yang dinilai berbahaya bagi Rusia dan negara-negara sekitarnya. Moscow juga dilanda kecemasan atas memburuknya keadaan ekonomi Afghanistan yang dapat berakibat pada ketidakstabilan kawasan.
Ke empat, AS akan tetap berada di Afghanistan. Presiden Biden pada pernyataannya di Gedung Putih pada 30 Agustus 2021, menyampaikan bahwa selama lebih 20 tahun berperang di Afghanistan, AS telah berinvestasi lebih $1 trilun, telah melatih 300,000 tentara dan polisi Afghanistan, memperlengkapi mereka dengan persenjataan modern, memperkuat angkatan udaranya. Kebersamaan ini diharapkan akan tetap terpelihara meski AS telah mengakhiri keberadaannya di sana.
Dengan investasi fisik, ekonomi dan sosial yang tidak ternilai itu tentu menjadi alasan jika AS akan tetap akan berupaya untuk mengontrol Afghanistan melalui intervensi diplomatik.
Ke lima, Uni Eropa (EU) kelihatannya tidak akan lagi bergantung dari AS untuk berperan di Afghanistan. EU mempunyai kerjasama jangka panjang tersendiri dengan Afghanistan dalam memajukan perdamaian, keamanan dan kesejahteraan di negeri ini. Kerjasama ini akan dilanjutkan dalam era pemerintahan Taliban. Afghanistan adalah negara penerima bantuan terbesar dari EU.
Terakhir, dengan peran kuncinya di ASEAN, GNB, OKI, G-20, dan di Dewan Keamanan PBB sebagai Anggota Tidak Tetap, dan hubungan sosial budaya dan politik, dan hubungan peribadi antara pemimpin Afghanistan dan Taliban dengan Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, Menlu Retno Marsudi, dan tokoh-tokoh lainnya yang telah terbina dengan baik, Indonesia kelihatannya memiliki peran strategis untuk bekerjasama dengan Taliban, PBB, dan semua faksi untuk mencegah kemungkinan timbulnya konflik baru antara AS, China, Rusia, EU dan pihak-pihak lain dalam perebutan peran dominannya di Afghanistan.
Semoga Indonesia dapat mencerahkan langit politik Afganistan, mengakhiri masa gelapnya selama 40 tahun, dan membantunya melihat cahaya terang yang akan menyinari pikiran dan kalbu warga Afghanistan agar mereka kelak dapat hidup damai, sejahtera dan terhormat di tanah airnya sendiri.