Opini  

Algoritma Mati: Saatnya Menjadi Orator Liar

Mewarta.com. Opini – Saudaraku, dengarkan saya baik-baik. Selama ini kita telah dibohongi. Kita diajarkan bahwa di era digital ini, public speaking menjadi lebih mudah, lebih modern, dan lebih global. Kita dijejali narasi manis tentang bagaimana internet membuka pintu bagi siapa saja untuk berbicara. Tapi, saya, Muh Anwar HM, seorang akademisi dan praktisi yang telah berpuluh tahun berkecimpung di dunia ini, datang bukan untuk mengiyakan kebohongan itu. Saya datang untuk menghancurkannya.

Apa yang terjadi sekarang bukanlah evolusi, melainkan degenerasi. Kita bukan sedang melatih orator ulung, melainkan sedang mencetak ribuan robot-robot berbicara. Ya, Anda tidak salah dengar. Robot! Mereka berdiri di depan kamera, dengan senyum yang dipoles, gestur yang terprogram, dan narasi yang dioptimasi untuk algoritma. Mereka mengulang kata-kata klise, menggunakan intonasi yang seragam, dan menyajikan ide-ide yang begitu aman hingga terasa hambar.

Di balik layar, ada skrip yang dibayar mahal, ada konsultan branding yang menuntut, ada metrik engagement yang harus dikejar. Keberanian berpendapat digantikan oleh ketakutan akan unsubscribes. Kedalaman pemikiran dikorbankan demi viralitas. Emosi yang tulus mati terbunuh oleh filter Instagram dan pencahayaan yang sempurna. Kita telah mengkomodifikasi kebenaran dan menggadaikan suara hati kita sendiri.

Era Digital Membunuh Autentisitas

Dulu, seorang pembicara hebat adalah mereka yang berani telanjang di depan audiens—menampilkan kerentanan, kecemasan, dan bahkan cacat mereka. Itulah yang membuat mereka manusia. Itulah yang membuat kita terhubung. Lihatlah Soekarno dengan pidatonya yang menggelegak, atau Bung Tomo yang membakar semangat dengan suara serak penuh amarah. Mereka tidak peduli dengan analytics atau engagement rate. Mereka hanya peduli pada satu hal: menyampaikan kebenaran yang keluar dari lubuk jiwa paling dalam.

Hari ini? Hah! Kita menciptakan monster-monster digital yang begitu sempurna hingga terasa hampa. Mereka berbicara tentang “passion,” tapi kita tahu itu hanya konten. Mereka bicara tentang “otentisitas,” padahal mereka sedang membaca teleprompter. Audiens kita, yang begitu lelah dengan kepalsuan ini, akhirnya mencari hiburan dari sensasi sesaat, dari drama yang dibuat-buat, dari content creator yang rela menjatuhkan harga diri demi atensi.

Ini adalah sebuah tragedi. Public speaking, yang seharusnya menjadi alat untuk menumbuhkan jiwa, justru menjadi alat untuk mematikan akal. Kita menjadi audiens yang malas berpikir dan pembicara yang takut berjiwa. Kita tidak lagi mencari inspirasi, melainkan validasi.

Membangkitkan Kembali Sang Orator yang Liar

Lantas, apakah ini akhirnya? Apakah kita menyerah pada algoritma dan menjadi budak-budak digital? Tidak!

Ini adalah seruan saya kepada Anda semua, para pembicara, para pendengar, dan siapa pun yang peduli dengan kebenaran. Jangan pernah lagi menjual jiwa Anda demi views! Jadikan platform digital sebagai medan pertempuran, bukan kandang yang memenjarakan.

Tampil telanjang! Tunjukkan cacat Anda, kebingungan Anda, dan amarah Anda. Beranilah tidak disukai, beranilah menjadi kontroversial, dan beranilah untuk menjadi diri sendiri. Bicaralah dengan cara yang membuat audiens Anda merasa tidak nyaman, karena di situlah pertumbuhan terjadi. Bicaralah dengan cara yang membuat mereka berpikir, bukan hanya mengangguk setuju.

Era digital ini bisa menjadi neraka yang membakar habis autentisitas kita, atau bisa menjadi api yang menempa kita menjadi pembicara yang lebih tangguh. Pilihan ada di tangan Anda. Apakah Anda akan menjadi robot sempurna yang berbicara hampa, atau menjadi orator liar yang kembali menghidupkan jiwa dari setiap kata?

Penulis : Muh Anwar. HM (Akademisi & Trainer Public Speaking)