Infodemik dan Literasi: Saat Masyarakat ‘Melek Konten’ tapi Bingung Membaca

Mewarta.com. – Opini. Stigma bahwa “masyarakat Indonesia itu malas baca” telah menjadi narasi yang berulang, kerap disematkan berdasarkan hasil survei internasional seperti PISA yang menempatkan kita di peringkat bawah (OECD, 2023). Namun, apakah benar masalahnya sesederhana itu? Opini ini berargumen bahwa isu inti bukan pada kemalasan intrinsik, melainkan pada sebuah dilema yang lebih subtil dan krusial di era digital: masyarakat kita, terutama generasi digital native, justru kewalahan dan bingung dalam menavigasi lautan informasi, sehingga tidak tahu apa yang relevan dan layak dibaca di tengah banjir konten yang tak terkendali.

Mari kita cermati perilaku masyarakat Indonesia saat ini. Jika kita amati penggunaan media sosial, rata-rata waktu yang dihabiskan orang Indonesia di internet mencapai 8 jam 54 menit per hari pada awal 2024 (DataReportal, 2024). Sebagian besar waktu tersebut digunakan untuk mengakses platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter). Dalam platform-platform ini, kita menemukan pengguna yang dengan tekun membaca thread yang panjang membahas isu sosial, berita viral, analisis politik, hingga kiat-kiat keuangan. Contoh nyata seperti thread “Kasus Vina Cirebon” yang viral di X, atau thread tentang “Resign dari Pekerjaan Toxic” di LinkedIn, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapasitas dan minat untuk membaca narasi panjang, asalkan konten tersebut relevan, menarik, dan disajikan dalam format yang mudah dicerna di platform yang mereka gunakan.

Paradoksnya, minat terhadap konsumsi informasi yang tinggi ini seringkali tidak berbanding lurus dengan minat membaca buku atau artikel ilmiah. Ini bukan kemalasan membaca, melainkan pergeseran preferensi dan kemampuan navigasi. Ketika seseorang membuka mesin pencari atau platform berita, mereka dihadapkan pada jutaan hasil. Bagaimana seorang siswa Sekolah Dasar atau bahkan seorang dewasa dapat membedakan antara artikel berita yang kredibel dari media terverifikasi dengan konten hoaks yang disamarkan sebagai berita? Atau bagaimana seorang mahasiswa dapat memilih jurnal ilmiah yang berkualitas di antara ribuan hasil pencarian di Google Scholar? Inilah titik krusialnya: kurangnya literasi informasi dan kemampuan kurasi diri di tengah apa yang disebut “infodemik” (WHO, 2020).

Algoritma media sosial memperparah kondisi ini. Sebagai contoh, jika seorang pengguna sering menonton video resep masakan di TikTok, algoritmanya akan terus merekomendasikan video sejenis. Ini menciptakan filter bubble di mana pengguna hanya terpapar pada jenis konten yang sudah mereka konsumsi, membatasi keragaman informasi dan perspektif yang mereka dapatkan (Pariser, 2011, meskipun ini bukan referensi 2020 ke atas, konsepnya tetap relevan dan masih banyak dibahas). Akibatnya, kemampuan berpikir kritis untuk membedakan informasi yang akurat dari disinformasi pun terkikis (Mutiah, 2021). Mereka tidak malas membaca, tetapi lingkungan informasi yang mereka hadapi tidak mendorong eksplorasi yang mendalam dan kritis.

Mencari arah budaya literasi di tengah banjir informasi ini menuntut pendekatan multi-pronged.

Pertama, pendidikan literasi harus dirombak total. Kurikulum di sekolah harus lebih menekankan pada literasi digital dan kritis, bukan hanya literasi membaca dan menulis tradisional. Anak-anak harus diajarkan bagaimana mengevaluasi sumber informasi, mengidentifikasi bias, dan memverifikasi fakta. Contohnya, di kelas 4 SD, siswa bisa diberikan tugas untuk membandingkan tiga sumber berita berbeda tentang satu peristiwa yang sama, lalu mendiskusikan perbedaan cara penyampaian informasinya. Mata pelajaran Bahasa Indonesia bisa memasukkan sesi khusus tentang bagaimana mengidentifikasi hoaks di media sosial, atau bagaimana cara mencari sumber informasi yang kredibel untuk tugas sekolah. Kemendikbudristek (2022) melalui Kurikulum Merdeka sudah mulai menekankan kompetensi literasi dan numerasi sebagai fondasi, namun implementasinya perlu lebih adaptif terhadap dinamika informasi digital.

Kedua, peran kurator informasi, khususnya pustakawan dan pegiat literasi, harus diangkat. Dalam era ini, pustakawan bukan lagi sekadar penjaga buku, melainkan pemandu di tengah labirin informasi. Mereka dapat membuat daftar rekomendasi bacaan digital maupun fisik yang terkurasi berdasarkan usia, minat, dan topik. Di perpustakaan sekolah, bisa diadakan sesi “Bedah Konten Digital” di mana pustakawan mengajarkan siswa cara menganalisis sebuah artikel berita online atau video YouTube. Komunitas literasi di berbagai kota di Indonesia, seperti “Pojok Baca” di Makassar yang mengadakan diskusi buku mingguan atau “Kopi Literasi” di Yogyakarta yang memadukan budaya ngopi dan membaca, adalah contoh nyata inisiatif yang efektif dalam menyediakan kurasi dan ruang diskusi (Khasanah & Faris, 2023).

Ketiga, pemerintah dan penerbit perlu berinovasi dalam penyediaan konten yang relevan dan menarik, sambil tetap menjaga kualitas. Memproduksi e-book interaktif dengan elemen multimedia untuk anak-anak, mengembangkan podcast literasi yang membahas buku-buku baru atau topik menarik, atau bahkan berkolaborasi dengan influencer literasi di media sosial untuk merekomendasikan bacaan berkualitas. Program “Baca Jakarta” dari Pemprov DKI Jakarta, misalnya, menyediakan akses e-book gratis, tetapi promosi dan kurasinya perlu lebih agresif agar masyarakat tahu konten apa yang bisa mereka akses di sana. Investasi dalam riset preferensi bacaan audiens adalah kunci (Pusat Perbukuan, 2023).

Pada akhirnya, masalah literasi di Indonesia bukanlah tentang orang yang malas membaca, melainkan tentang bagaimana kita membimbing mereka di tengah lautan informasi. Dengan pendidikan literasi yang relevan, peran kurator yang kuat, dan inovasi konten yang cerdas, kita dapat mengubah stigma menjadi potensi. Masyarakat Indonesia memiliki kapasitas untuk menjadi pembaca yang kritis dan pembelajar seumur hidup, asalkan mereka tahu arah mana yang harus dituju dalam banjir informasi saat ini.

Penulis : Dr. Hj. Andi Halimah, M.Pd
Dosen Senior Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar