Sastra  

Krisis Pangan: Rakyat Makan Gadung

Penulis: Andi Mahmud

Selayar, Mewarta.com- Manna kujallok sarengku, Geleja lasunggu memang, Sarro upakku, Na nyawaku longgang-longgang.

Masyarakat selayar di tahun 60an pernah merasakan kekurangan bahan makanan istilah kita hari ini KRISIS PANGAN. Saat itu kehidupan sangat susah, banyak rakyat yang menderita terutama di Kampung-kampung di pedalaman. Selama ini tumpuan makanan masyarakat adalah umbi-umbian utamanya ubi kayu bersama dengan jagung. Krisis pangan saat itu terjadi disebabkan karena masyarakat gagal panen. Tentu dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat. Sampai-sampai biji manggapun menjadi pilihan alternatif terpahit untuk menjadi bahan makanan.

Kemiskinan tentu bertambah, petani gagal panen yang disebabkan oleh hama (ulat) menjadikan rantai ekonomi mereka terputus. Jangankan untuk uang belanja, untuk makan pun terbatas. Pilihannya jatuh kepada tanaman yang dikenal dengan nama GADUNG. Begitu susahnya hidup dimasa itu sampai lahirlah kelong berikut ini:

Tide’kalepa maraeng
Tideppa pamu leleang
Ampa rialle
Pute mallang keboia

Itulah GADUNG, tanaman yang tumbuh di rumput. dalam prosesnya untuk bisa dijadikan makanan terlebih dahulu di kupas baru kemudian di iris-iris setelah itu kemudian dibersihkan dengan cara dimasukkan ke dalam karung untuk selanjutnya direndam di sungai yang airnya mengalir selama tujuh hari untuk menghilangkan sifat gatalnya jika di makan. Setelah tujuh hari mengalami proses perendaman di dalam sungai warnanya semakin putih bening. Itulah sehingga disebut pute mallang keboia dalam untaian kelong/nyanyian diatas.

Tide’ kalepa maraeng, tiada lagi pilihan untuk bahan makanan sampai mereka tiba pada keputusan untuk menjadikan GADUNG sebagai sumber makanan. Gambaran kondisi sosial ekonomi di masa itu sangat sulit. Kondisi ini digambarkan dengan jelas dalam untaian kelong berikut :

Kamase janni mallabbang
Tuna janni mamo lele
Kaasi-asi lapabattu maekonni

Kelong diatas adalah gambaran situasi perihnya kehidupan di masa itu, untuk makan sehari-hari saja begitu sulit apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup diluar makanan. Kemiskinan adalah situasi terburuk yang pernah masyarakat rasakan dan sampai hari ini menjadi persoalan besar yang terus dihadapi.

Bahkan bagian keluarga seperti anak-anak mereka saat itu sebagai bintang yang diharapkan membawa cahaya terang ke dalam rumah keluarga ikut juga merasakan secara langsung apa yang mereka derita, keluarga, ibu, bapak dan saudaranya yang lain. Situasi ini digambarkan dalam kelong/nyanyian berikut ini:

Nakke ana’ tu kamase
Nakke ana’ tu tunayya
Manna pattolong
Kusa’la-sa’la kalengku

Tentu segala daya dan upaya terus mereka kerjakan untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan keluarga mereka. Putus asa bukanlah pilihan, masyarakat terus berjuang sekuat dan semampunya dengan segala daya mereka terus bekerja. Situasi itu di gambarkan dalam kelong berikut:

Ku pasai’mu lasappe
Ku pasandere nan rabba
Pabattuna
Sare silabu-labunni

Di tengah-tengah penderitaan hidup selalu ada ikhtiar dan harapan. Diantara gelombang yang tinggal dan sebagian kecil meninggalkan selayar pergi merantau baik di masa sebelum 1965 maupun sesudah 1965, sebagai tahun yang diperkirakan terjadinya KRISIS PANGAN menciptakan kelong-kelong PANYOMBALANG,
Ada yang sampai harus meninggalkan selayar pergi merantau ke barat dan ke timur negeri ini. Keluarga yang merantau dengan keberanian dan harapan digambarkan dalam kelong berikut:

Manna labuangja bobang
Lagulu gosse mammanyu
Na tide’ tommo
Tallasa rua-ruayya

Yang terus bertahan di tana doang, juga ikut bernyanyi dalam kelong berikut:

Gele haje’ pa’lampanni
Gele Dodolo panyombalanni
Gele tolobang
Lari kanre manjeng-manjeng

Dua kelong diatas menggambarkan dialog yang terjadi di masyarakat, antara yang akan berangkat pergi merantau dan mereka yang ingin tetap bertahan. Yang bertahan di tanadoang ibaratnya seperti pepatah negeri sendiri:

Dari pada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri
Bagaimanapun senangnya hidup di negeri orang, masih lebih senang hidup di negeri sendiri

Namun demikian, tetap banyak keluarga yang akhirnya meninggalkan Selayar. Mengejar bintang bercahaya di negeri orang yang sampai hari ini benang keluarga dan keturunan mereka tentu tidak meninggalkan ke selayarannya. Walaupun kehidupan sangat sulit di kampung sendiri dan di negeri orang semangat untuk terus melanjutkan kehidupan yang lebih baik tidak pernah putus, sabar dan ikhlas adalah kunci kesuksesan dalam perjuangan masyarakat selayar. Mereka.mampu menghibur diri, menghibur keluarga lewat irama kelong-kelong dalam rupa batti-batti juga dalam pementasan dide/saride dalam lantunan kelong berikut:

Nyaha mamo kulonggangi
Simpung mamo kuteknei
Lalabonei Dalle hallala riboko

Sekali lagi dengan kelong berikut:

Manna kujallok sarengku
Geleja lasunggu memang
Sarro upakku
Na nyawaku longgang-longgang

Walaupun kepertaruhkan nasib hidupku
Tiada mungkin bisa langsung bahagia
Sangat beruntunglah saya
Dapat diberikan rasa syukur

REMBULAN MALAM
Komunikasi Budaya
Dalam Irama Musik Tradisional Selayar

Penulis: Andi Mahmud

Tinggalkan Balasan