Sastra  

Katamu Bukan Kata Tuhan

Baskar Hidayatullah

Mewarta.Com, Makassar–Malam terasa begitu panjang, mata enggan terlelap, pikiran terus menjelajah, menerka hidup di masa depan. “Apa aku bisa menyelesaikan studi tepat waktu?”

Waktu terus berlalu, kata Acc tak kunjung terbit, revisi masih menjadi tokoh utama dalam perjalanan tesisku.

Aku, mahasiswa yang bercita-cita tidak membayar UKT di semester depan, mengingat tidak ada lagi mata kuliah yang harus dipelajari, sehingga tesis harus segera diselesaikan. Koreksian dari dosen segera diperbaiki hingga kata Acc didapatkan.

Kemudian, segera mengurus pendaftaran ujian proposal tesis, hingga keluarlah dua nama yang akan menjadi penguji, yaitu Bapak Adrian dan Bapak Amin.

Dua nama yang asing, mengharuskanku untuk bertanya kepada teman.

“Yul, kenal bapak ini?” tanyaku sembari memperlihatkan nama yang tertulis dalam surat izin ujian proposal tesis.

“Aku kenal Bapak Adrian, dia pengujiku. Cie, yang mau ujian.”

“Bagi nomor teleponnya dong, mau minta jadwal ujian.”

“Boleh. 0823-xxxx-xxxx.”

Satu nomor penguji telah kumiliki, tersisa satu nomor lagi. Aku bertanya ke semua teman, hingga kudapatkan dari seorang junior yang dibimbingnya. Aku segera menghubungi pembimbing dan penguji, meminta waktu mereka untuk mengujiku dan disepakatilah hari Rabu, 14 April 2021.

Seminggu menjelang ujian, aku membagikan tesis yang sudah dijilid ke penguji dan pembimbing. Suatu kesyukuran karena saat itu ada kelonggaran PPKM, sehingga aku bisa beraktivitas dengan mematuhi protokol kesehatan.

Setelahnya, aku ke kampus menemui staf prodi untuk menanyakan link zoom yang akan kugunakan. Kemudian berjalan-jalan ke Taman Baca dan kembali bertemu Yul yang sedang duduk bersama juniornya.

“Hei, Yul. Betah sekali kau duduk di Taman Baca tanpa mengurus apa-apa untuk selesai,” ujarku.

“Ye, siapa bilang tidak mengurus, saya mengurus tahu, tapi dikacangin.”

“Kirain sudah menjadi penunggu Taman Baca.”

“Deh. Eh, tadi kamu digosipin.”

“Digosip gimana?”

“Tadi, si Erik cerita ke Mawar, katanya kamu minta penguji yang kamu kenal, agar ujianmu mudah.” Mendengar itu, aku sedikit emosi.

“Lah, kau lihat sendiri ‘kan, aku bertanya ke kamu soal pengujiku. Malah minta nomornya di kamu.”

“Iya. Saya bilang ke mereka, ‘Masa Baskar minta sih? Kalau dia minta, kenapa dia pusing, malah dia bertanya ke saya dan minta nomor pengujinya di saya.’

“Biarkanlah. Toh, kenyataannya tidak seperti itu.”

Waktu untuk mempresentasikan proposal tesisku secara online pun tiba. Bab per bab kubahas, lalu menanggapi pertanyaan dari peserta seminar dan penguji. Ujian selesai dalam waktu yang singkat dan dinyatakan lulus ke tahap selanjutnya.

Setelah penelitian selesai dan batas pendaftaran wisuda semakin dekat, rasa putus asa pun menyelimuti, sebab tesis masih di tangan dospem yang tak kunjung memberi kabar.

“Sudahlah, kalau memang tidak bisa, setidaknya aku mengikuti proses dan sisa sedikit lagi,” batinku. Aku sudah abai tentang wisuda di bulan Desember.

Rebahan kali ini tak senyaman dulu, mata enggan terlelap, main sosmed pun tak menyenangkan. Entah harus ke mana mencari rasa nyaman, kini hanya ada kegelisahan.

Di tengah kegundahan, ponselku berdering dan menampilkan nama dospem Pak Nur. Tanpa pikir panjang, aku segera mengangkatnya.

“Assalamu’alaikum,” kataku membuka percakapan.

“Wa’alaikumussalam. Baskar, hari ini kamu ke rumah, ya, bawa surat persetujuan hasil penelitian.”

“Iya, Pak.”

 “Saya tunggu.”

Percakapan berakhir, aku bergegas mencetak surat tersebut, kemudian membawanya ke dospem.

Satu pesetujuan telah kumiliki, sedikit melegakan, meski tidak mengembalikan rasa percaya diri untuk wisuda bulan Desember, karena batas ujian hasil dan tutup tersisa 7 hari, termasuk di dalamnya hari libur.

Sepulang dari rumah pembimbing, aku singgah ke ruang prodi, melihat teman-teman yang berhasil menggapai wisuda bulan Desember. Ekspresi bahagia terpancar dari mereka, rasa gundah semakin menghinggapi. Berkas segera kubereskan, hendak pulang dan merebahkan diri.

“Lagi urus apa?” tanya seseorang.

“Oh, lagi urus ujian hasil.”

“Sisa apa lagi?”

“Tanda tangan persetujuan dari Pak Adrian.”

“Sudahlah, kamu tidak bakalan dapat wisuda bulan Desember, ngapain masih mengurus?”

“Iya, aku tidak dapat.”

Mendengar pernyataan tersebut, rasa kantukku hilang, aku kembali bersemangat dan segera ke rumah pembimbingku—Pak Andi.

Sepertinya Dewi Fortuna memihakku, sesampainya di sana, aku melihat beliau sedang bersantai.

“Eh, kok baru datang? Saya sudah lama menunggu kamu untuk mengambil tesismu. Tunggu, saya ambilkan.”

“Wah, kalau begini, aku bisa ujian hasil pas tutup pendaftaran.”

“Ini, segera diperbaiki. Mana surat persetujuanmu?”

Aku mengambil tesis sembari memberikan lembar persetujuan dan beliau menandatanganinya.

Tanpa menunggu, aku bergegas ke kampus dan mengisi formulir pendaftaran hasil dan tutup, memilih jadwal ujian pada 15 November 2021, tepat di hari terakhir jadwal pendaftaran wisuda yang ditentukan oleh kampus.

Pelajaran yang dapat diambil dari naskah ini adalah, meski orang lain menganggap itu mustahil—usaha kita sia-sia, kita jangan langsung menyerah. Teruskan perjuangan sampai akhir. Sebab, itu hanya ucapan manusia, bukan kata Tuhan. Apa pun bisa terjadi jika Dia berkehendak.

Baskar Hidayatullah memiliki nama pena B_Dayat. Lelaki kelahiran 1993 ini tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan, memiliki motto hidup kamu adalah aku, lebih dari kamu.  pemili akun Instagram @B_Dayat serta akun Twitter @B_dayat_.

Tulisan ini juga bisa dibaca dalam Antalogi cerpen yang berjudul TERIMA KASIH 2021 dan beberapa karyanya telah dibukukan, diantaranya RAUDAH MADAH, CAHAYA DI BALIK AWAN.

Tinggalkan Balasan