Sastra  

Bagaikan Epilog Tanpa Prolog (Part II)

Gambar Ilustrasi: By pixabay.com

Mewarta, Com- Fiksi–Beberapa hari berlalu, perasaan Lee terhadap Delia semakin membludak. Suatu malam Lee yang sedang duduk diam termenung dengan segelas kopi panas yang Ia teguk, keluarlah Delia dari dalam rumah dan duduk di bangku bawah pohon yang rindang. Lee berpikir, “Apakah ini saatnya”, lalu Ia datang menghampiri.

“Hey, bolehkah aku duduk di sini?” sapa Lee dengan malu-malu.
“Iya silahkan” sahut Delia dengan sikap cuek dan dingin.
“Aku Lee yang tinggal di penginapan keluarga kamu di sebelah, nama kamu siapa kalau boleh tahu” tanya Lee kemudian.
“Oh iya. Aku Delia” jawabnya.

Di sini Lee semakin penasaran dengan sikap Delia yang seakan misterius. Lee tak pantang menyerah dengan begitu saja.

“Aku berasal dari desa. Aku datang ke sini untuk melanjutkan pendidikan ku” jelas Lee dengan penuh tawa.
“Oh iya, semangat” jawab Delia yang cuek.
“Aku ke kamar dulu ya” kata Lee dengan penuh penasaran.

Ke esokkan harinya, Lee bangun pagi yang disambut dengan kicauan burung di tengah mentari. Dengan penuh semangat dan senyum perjuangannya melangkahkan kaki menuju kampus yang selama ini Ia idam-idamkan. Berjalan bertemankan ransel lusuhnya, Ia dengan bangga bisa berada pada titik ini.

Ternyata, Delia seorang gadis yang Lee dambakan juga mendaftarkan diri pada kampus yang sama dengan dirinya. Hal ini merupakan salah satu yang membuat diri Lee menjadi semakin semangat dalam menjalani kesehariannya di kota besar tempatnya berjuang ini. Semangat yang Ia miliki semakin hari kian membara.

Selepas pulangnya Lee dari kampus. Ia tak sengaja melihat toko yang menjual beraneka ragam kue. Singgahnya di toko itu dan sekejap diam dan berpikir, “Aku ingin sekali membelikannya (Delia) kue sebagai tanda salam perkenalan kepadanya. Tapi bagaimana? Uang yang aku miliki tak seberapa” ucap Lee dalam hati.

“Pak, adakah kue yang paling murah di sini?” tanya Lee dengan malu kepada pemilik toko.
“Yang ini nak” jawab pemilik toko sembari menunjuk kue yang dimaksud.
“Baik pak, saya beli 1 saja” ucap Lee kemudian.
“Tunggu sebentar nak” kata pemilik toko.

Lee pun dengan bahagia berjalan menuju penginapan dengan membawa kue yang nantinya akan Ia berikan kepada Delia. Riangnya Ia hari itu, berjalan sambal bernyanyi dan tak lupa dengan ransel lusuhnya yang selalu menemani.

Tak terasa, tibalah Ia di penginapan. Melirik dan melihat-lihat sekitar dengan harapan Ia akan melihat adanya Delia di sana. Sudah 15 menit berlalu Ia duduk diam menunggu di depan kamarnya, namun Delia tak kunjung datang. Masuklah Ia ke dalam kamar tuk beristirahat.

Malam pun tiba.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan