Selepas tahajud Kamara masih mencakung di atas sajadahnya. Malam yang hening tidak mampu memberikan rasa tentram jiwanya yang terus meronta dilanda berbagai pertanyaan. Jiwanya resah karena mencari jawaban .
Beberapa menit sebelum subuh, dia naik keatas menara Masjid, kemudian suaranya yang melengking beberapa oktaf, mengalun, menerpa pojok-pojok fajar, seakan dia ingin melepaskan seluruh pertanyaannya, maka adzan itu terasa ada semacam kekuatan mistik, sedih, perih, memanggil dan merintih.
Ditunggunya Al Maula guru tercinta menyelesaikan do’anya terakhir, dan seperti biasanya Guru dan murid itu terlibat dialog. “Guru, kembali aku didera oleh kejahatan fikiran yang tiada tara, yang kemudian mengguncang-guncang jiwaku, bagaikan perjalanan tiada ujung. Kian direguk kian haus, dan bertambah tebal jualah keraguanku akan kebenaran, akan keyakinan, akan segalanya yang kini bertambah mendung penuh misteri. Untuk apa hidup, apabila toh semuanya akan berakhir dengan nihil, artinya segala yang kuperbuat akhirnya hanyalah debu, hidup ternyata bagaikan kerdipan mata, dirasakan sesaat, kemudian dilupakan. Lantas kini aku penuh ragu, melahap semua ilmu, segala usahaku yang kuraih dengan akal, fikiran dan kerja keras, toh akhjrnya dihembuskan oleh waktu bagaikan badai meniup debu yang tak berdaya, tak berarti.”
Kamara kian meracau, ucapannya bagaikan tak terkendali, entah mau kemana pembicaraannya. Tetapi Maula Sang Guru Al Mu’alim al Awwal bagi Kamara, selalu bijak dan dengan mata batinnya, dia mampu menangkap nuansa batin muridnya. “Muridku, engkau kembali didera oleh ma’rifatmu yang tidak terarah. Maksudku, engkau berpikir diatas jiwamu yang hampa yang akibatnya, engkau menjadi objek dari pikiranmu sendiri, engkau disayat oleh pisau tajam yang mengarah pada batinmu. Seharusnya, engkau perkuat pondasi dahulu imanmu, perteguh dzikirmu, baru kemudian diatas landasan yang kokoh ini, engkau boleh mengarungi alam fikiranmu, kelangit sekalipun!”
Lihatlah, betapa Qur’an memulai ciri seorang ulul al baab itu dengan dzikirnya, baru kemudian fikirannya, sebagaimana firman-Nya : ”Aladzina yadzkuruunallaha qiyyamaw waqu’udan wa’ala junuubihim. Wa yatafakruuna fi kholqissamawaaii wal ardh….”
Jiwamu masih mendunia. Padahal dunia itu penuh dengan ketidakpastian. Sehingga, pada suatu saat jiwamu akan hampa, apabila dunia meninggalkan dirimu .
Lihatlah, betapa cintamu membuat segalanya menjadi berbunga. Badai diterjang. Semanagat untuk bekerja tak mengenal waktu Jiwa tegak, wajah berseri penuh optimisme. Tetapi, ketika sang kekasih meninggalkan, katakanlah dihianati. Maka lihat betapa murungnya diri kita. Kehilangan semangat. Dan tampaklah kita dipermainkan oleh perasaan yang kosong. Itu semua, karena kita menempatkan cinta pada seorang manusia. Mahluk Tuhan yang sangat labil, yang sulit ditebak, dia boleh bilang cinta hari ini, tetapi dengan mudah pula meninggalkanmu. Maka, pada saat sang kekasih yang begitu punya arti, pergi menghianati, maka berubahlah segalanya. Ketahuilah, muridku, bahwa batas antara cinta dan benci itu sangat tipis! Artinya, begitu cinta tak terpenuhi, maka kebencianlah yang memadati pikiranmu.
Begitu juga dengan upaya kita, membelah seluruh ilmu, kemudian mempertanyakan segala sesuatu dengan ilmu semata-mata, maka lihatlah diri kita, betapa goncangnya, betapa tipisnya batas antara keyakinan dan keraguan. Maka dianjurkan agar kita menyelami batin kita, agar tidak terbuai oleh pikiran. Setidak-tidaknya, atas dasar iman itulah kita berpikir. Dan bukan karena berpikir, kita ingin beriman!
Kalau kita berpikir itu hanya sekedar orang awam, maka mudahlah menemukan iman. Tetapi sebaliknya, apabila kita berpikir bgaikan seorang filosof yang ingin membedah misteri, maka kebutaan jualah yang akan ditemukan. Maka Janganlah terkecoh oleh pikiran kita sendiri, karena pikiran ini adalah dunia. Bukankah Allah berfirman apa yang ada disisimu akan batal, sedang yang ada disisi Allah adalah Baqa ?
Maka perteguhlan dahulu iman, maka kita akan membelah misteri!, Sebab, kalau iman kosong, maka syetanlah yang akan merasuki seluruh sukma. Setidak-tidaknya.kita dapat mempergunakan dikir dan fikir secara simultan, itu lebih baik.
Dzikir adalah potensi kesadaran, satu makna yang mencakup tiga dimensi yang tak terpisahkan yaitu pembenaran hati nurani , ikrar lisani dan dimanifestasikan dalam bentuk gerak amal yang konsekwen. Tersungkurnya manusia, dikarenakan dia mengabaikan makna dzikir ini. Betapa besarnya godaan akan kelalaian, menyampingkan hakikat dzikir dan hanya semata-mata berakrobat dengan fikir.
Lihatlah, betapa banyak orang menjadi pahlawan setelah mereka berhasil menghancurkan tirani. Tetapi akhirnya dia tampil menjadi tirani baru setelah mengabaikan hati nuraninya yaitu dzikir!
Pantaslah Jean Paul Satre berkata as a hero I fought agains tyranny but more often I become a tyrant myself. Maka tetaplah menyembangkan diri diantara dzikir dan fikir, agar kita tidak menjadi mangsa, bahkan tampil sebagai tirani baru. (Anwar)












