Opini  

Politik Tanpa Kebencian: Menghormati Perbedaan, Menjaga Persatuan

Mewarta.com, Opini– Dalam dinamika politik modern, khususnya menjelang dan selama masa pemilihan umum, kita kerap menyaksikan fenomena politik kebencian, di mana adu domba, ujaran kebencian, black campaign, dan sikap saling menjatuhkan menjadi alat yang sering digunakan untuk meraih kemenangan.

Pola ini bukan hanya merusak kepercayaan publik terhadap proses politik, tetapi juga merongrong semangat persatuan dan kebinekaan yang menjadi landasan penting bagi suatu bangsa.

Dalam konteks Indonesia, yang memiliki keragaman suku, agama, dan budaya, fenomena ini menjadi ancaman nyata bagi integritas bangsa.

Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung MPR/ DPR RI, Senayan Jakarta , Prabowo Subianto memberikan pesan yang kuat tentang pentingnya persatuan dan keutuhan bangsa.

Presiden Prabowo menekankan bahwa sekarang adalah waktunya untuk menanggalkan perbedaan, menghindari sektarianisme, dan memprioritaskan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan atau kelompok.

Pesan ini mengandung nilai penting untuk dijadikan pedoman, terutama dalam upaya meredam politik kebencian yang dapat membahayakan masa depan bangsa.

Menghindari Politik Kebencian: Pentingnya Sikap Saling Menghargai

Politik kebencian sering kali berawal dari ketidakmampuan untuk menghargai perbedaan. Ketika kandidat atau pendukungnya tidak menghargai pilihan dan pendapat yang berbeda, maka politik mudah berubah menjadi ajang permusuhan.

Berbagai upaya dilakukan untuk menjatuhkan lawan, bukan dengan ide dan gagasan, tetapi dengan serangan personal dan fitnah. Hal ini berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi, yang seharusnya menjadi arena untuk merangkul keberagaman pemikiran dan pilihan.

Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, penghormatan terhadap pilihan orang lain adalah bentuk penghargaan terhadap demokrasi itu sendiri.

Seperti yang disampaikan oleh Presiden Prabowo, sudah saatnya kita menanggalkan perbedaan dan menghormati keputusan yang telah ditetapkan oleh rakyat.

Menghormati hasil pemilu adalah bentuk kedewasaan politik yang harus dijunjung tinggi. Tanpa adanya sikap ini, politik kebencian akan terus merajalela, menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat, dan menghilangkan kesempatan untuk bersatu membangun bangsa.

Menghargai perbedaan dan menghindari kebencian adalah inti dari prinsip persaudaraan dalam Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًۭا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
(QS. Ali ‘Imran: 103)

Ayat ini menjadi pengingat bagi umat Islam untuk bersatu dalam menghadapi perbedaan, khususnya dalam politik. Dengan saling menghargai, kita menjaga persatuan yang diperintahkan oleh Allah SWT dan menghindari sikap saling membenci.

Hadits Nabi SAW juga menegaskan pentingnya menjauhi kebencian:

لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانا
“Janganlah kalian saling membenci, saling hasad, dan saling membelakangi satu sama lain. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.”
(HR. Muslim)

Dalam konteks politik, hadits ini mengajarkan bahwa kita harus menghormati pilihan yang berbeda dan mengedepankan persaudaraan di atas perselisihan.

Menjauhkan Diri dari Black Campaign dan Politik Pencitraan

Salah satu ciri utama dari politik kebencian adalah penggunaan black campaign atau kampanye hitam yang bertujuan untuk menghancurkan citra lawan politik melalui penyebaran informasi palsu dan memutarbalikkan fakta.Serangan seperti ini tidak hanya merusak kredibilitas individu, tetapi juga merusak kredibilitas demokrasi itu sendiri.

Kampanye hitam dan politik pencitraan yang dangkal tidak hanya memperkeruh suasana, tetapi juga mengaburkan perdebatan tentang gagasan dan program yang lebih relevan bagi kemajuan bangsa.

Sebagai bangsa yang besar dan beragam, kita seharusnya menjunjung tinggi etika politik yang bersih dan mendewasakan, yang fokus pada gagasan dan solusi bagi masyarakat.

Presiden Prabowo dalam pidatonya menekankan pentingnya menghindari kepentingan sektoral atau golongan tertentu, mengajak kita untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas ambisi pribadi atau kelompok.

Hal Ini menjadi pengingat bahwa kepemimpinan yang baik adalah yang mengedepankan kepentingan rakyat secara keseluruhan, bukan sekadar tampilan citra.

Politik kebencian dan kampanye hitam bertentangan dengan etika Islam, yang mengajarkan sikap jujur dan tidak menyebarkan kebohongan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوْلًۭا سَدِيدًۭا
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”
(QS. Al-Ahzab: 70)

Ayat ini menunjukkan kewajiban kita untuk berkata jujur dan menghindari kampanye hitam yang dapat merusak reputasi orang lain. Dalam konteks politik, ini berarti bahwa kita harus menolak fitnah dan lebih fokus pada gagasan serta program yang nyata.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, mengingatkan tentang bahaya fitnah dan ghibah (menggunjing):

مِنْ أَعْظَمِ الذُّنُوبِ فِي الْإِسْلَامِ الْغِيبَةُ وَالنَّمِيمَةُ
“Di antara dosa terbesar dalam Islam adalah menggunjing dan mengadu domba.”

Dengan demikian, menjauhkan diri dari kampanye hitam adalah wujud penghormatan terhadap prinsip kebenaran dalam Islam.

Menjunjung Tinggi Etika dan Mengutamakan Gagasan

Etika politik yang baik adalah salah satu pondasi penting dalam menciptakan iklim politik yang sehat dan beradab.

Dengan menjunjung tinggi etika, para pemimpin dan peserta politik dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk dialog, diskusi, dan debat yang sehat, di mana setiap pihak menghormati hak dan pendapat orang lain.

Dalam konteks ini, para pemimpin dan politisi diharapkan dapat menjadi teladan dalam mengedepankan gagasan dan ide daripada sekadar menampilkan pencitraan yang semu.

Mengutamakan gagasan dan ide dalam perdebatan politik akan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menilai visi dan misi yang jelas dari setiap calon pemimpin.

Pendekatan ini juga menghindarkan masyarakat dari konflik yang disebabkan oleh politik identitas dan sektarianisme yang hanya memecah belah.

Seperti yang diutarakan Presiden Prabowo dalam pidatonya, “Saatnya kita bersatu,” karena hanya dengan persatuan, bangsa ini dapat menghadapi berbagai tantangan besar di masa depan.

Islam mengajarkan pentingnya menjunjung tinggi etika dalam berinteraksi, termasuk dalam berpolitik. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)

Hadits ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam politik. Mengedepankan etika berarti mengutamakan diskusi yang sehat dan saling menghargai. Dengan etika yang baik, politik bisa menjadi ruang dialog yang konstruktif tanpa harus mencederai harga diri orang lain.

Mengutamakan Persatuan dan Kebinekaan

Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, kita diajarkan bahwa keberagaman merupakan kekuatan, bukan kelemahan. Politik kebencian yang mementingkan golongan atau kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan bersama bertentangan dengan semangat ini.

Pesan yang disampaikan Presiden Prabowo tentang pentingnya menghindari egoisme sektoral dan mengutamakan kepentingan bangsa adalah pengingat bahwa kita semua berada dalam satu kapal yang sama. Tidak ada golongan yang lebih penting dari yang lain, karena pada akhirnya tujuan kita adalah mewujudkan Indonesia yang lebih baik bagi semua.

Persatuan bangsa harus dijaga dengan penuh kehati-hatian, dan setiap pemimpin yang baik harus senantiasa menyadari hal ini. Tanggung jawab untuk menjaga persatuan ada di tangan kita semua, baik pemimpin maupun rakyat.

Dengan mengedepankan kepentingan bangsa, kita dapat membangun masyarakat yang harmonis dan saling menghargai, jauh dari politik kebencian yang memecah belah.

Dalam politik, menjaga persatuan adalah kewajiban yang harus diutamakan. Rasulullah SAW bersabda:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini mengajarkan bahwa sesama umat Islam, bahkan dalam konteks perbedaan politik, harus saling menguatkan dan tidak merusak satu sama lain. Dalam konteks politik Indonesia yang majemuk, semangat ini harus diterapkan dengan menghormati kebinekaan dan menjaga kesatuan bangsa.

Menutup Politik Kebencian, Membuka Jalan untuk Kolaborasi

Setelah berakhirnya proses pemilihan, saatnya bagi semua pihak untuk menanggalkan persaingan dan membangun kolaborasi demi kemajuan bangsa.

Politik kebencian yang terjadi selama masa kampanye harus ditinggalkan, digantikan dengan semangat kerja sama. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu merangkul semua elemen masyarakat, terlepas dari latar belakang politiknya.

Dengan demikian, terciptalah iklim politik yang sehat, di mana perbedaan pandangan dihormati, dan gagasan menjadi prioritas utama.

Pidato Presiden Prabowo menjadi pengingat bahwa politik bukan tentang perpecahan, tetapi tentang membangun masa depan bersama. Hanya dengan sikap saling menghargai, menghormati perbedaan, dan menjunjung tinggi kebinekaan, bangsa ini bisa menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Mari tinggalkan politik kebencian dan sambut masa depan Indonesia yang damai, bersatu, dan penuh kolaborasi.

Setelah pemilihan selesai, penting untuk mengedepankan kolaborasi demi kemajuan bangsa. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)

Ayat ini mengingatkan kita untuk bekerja sama dalam kebaikan dan menghindari permusuhan. Dalam konteks politik, ini berarti bahwa setelah perbedaan pendapat dan persaingan, harus ada semangat kolaborasi untuk mewujudkan tujuan bersama, yaitu kemajuan bangsa.

Kedewasaan Politik dalam Konteks Pilkada

Dalam konteks Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dan Pilgub (Pemilihan Gubernur) yang sedang berlangsung di berbagai kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia, pesan untuk menghindari politik kebencian dan mengutamakan persatuan menjadi sangat relevan.

Proses politik di tingkat lokal sering kali lebih intens dan emosional, karena melibatkan masyarakat dalam lingkup yang lebih dekat, sehingga risiko konflik dan perpecahan kian besar.

Di sinilah pentingnya peran para kandidat dan tim sukses untuk meminimalisir penggunaan ujaran kebencian, kampanye hitam, dan berbagai taktik lain yang berpotensi merusak hubungan sosial masyarakat.

Pilkada dan Pilgub bukan hanya ajang memilih pemimpin, tetapi juga sarana membangun kedewasaan politik di tingkat akar rumput. Ketika kandidat dan pendukungnya bersaing dengan menjunjung tinggi etika dan menghormati perbedaan pilihan, mereka turut berkontribusi dalam memperkuat persatuan bangsa.

Dengan tetap mengutamakan persatuan di tengah keberagaman, Pilkada dan Pilgub dapat menjadi momentum untuk menunjukkan bahwa demokrasi adalah tentang memilih yang terbaik tanpa harus merusak hubungan antarindividu dan kelompok di masyarakat.

Selain itu, persaingan yang sehat dalam Pilkada dan Pilgub juga dapat menghasilkan pemimpin yang lebih bertanggung jawab, kompeten, dan siap bekerja sama dengan berbagai pihak, terlepas dari perbedaan politik.

Fenomena ini sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo dalam pidato pelantikannya, di mana ia mengajak untuk menanggalkan perbedaan demi kepentingan bangsa yang lebih besar.

Dalam hal ini, para kandidat Pilkada dan Pilgub yang mengutamakan persatuan di atas ambisi pribadi akan membawa dampak positif yang lebih luas, menciptakan iklim politik yang sehat, harmonis, dan kondusif bagi pembangunan daerah.

Sebagaimana terjadi di berbagai daerah, kita telah menyaksikan beberapa kasus di mana persaingan politik justru memecah belah masyarakat, seperti terjadi di beberapa wilayah yang sempat terpolarisasi tajam akibat perbedaan pilihan politik.

Namun, dengan komitmen untuk menjunjung tinggi etika politik yang baik, para kandidat dapat mengarahkan para pendukung mereka untuk fokus pada gagasan dan solusi nyata yang dapat membawa daerah tersebut maju.

Ketika etika politik dijunjung tinggi, Pilkada dan Pilgub dapat menjadi sarana untuk mempersatukan masyarakat di sekitar nilai-nilai kebersamaan, kesetaraan, dan kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.

Pada akhirnya, Pilkada dan Pilgub yang dilakukan dengan cara yang bersih dan jauh dari politik kebencian dapat memberikan contoh teladan bagi generasi muda dan masyarakat luas.

Melalui politik yang sehat dan konstruktif, kita dapat membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, di mana persaingan bukanlah alasan untuk berpecah belah, melainkan kesempatan untuk saling melengkapi dan membangun sinergi.

Dalam Pilkada dan Pilgub, kandidat harus menunjukkan kedewasaan politik dengan menghindari politik kebencian dan mengutamakan persatuan. Khalifah Umar bin Khattab RA pernah berpesan:

إِذَا احْتَرَمْتَ نَفْسَكَ احْتَرَمَكَ النَّاسُ وَإِذَا نَزَّهْتَ كَلَامَكَ وَصَفَ سَمْعُكَ
“Jika engkau menghormati dirimu, maka orang lain pun akan menghormatimu; dan jika engkau menjaga ucapannya, pendengaranmu akan jernih.”

Pesan ini sangat relevan dalam Pilkada, di mana kedewasaan politik tidak hanya diukur dari program kerja, tetapi juga dari kemampuan para kandidat dan tim sukses untuk menjaga etika dalam berkomunikasi. Kedewasaan ini penting untuk memupuk persatuan dan menghindari perpecahan di tengah

Penutup

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islami seperti yang disampaikan dalam dalil-dalil di atas, diharapkan iklim politik di Indonesia dapat bergerak ke arah yang lebih sehat, harmonis, dan konstruktif. Politik bukanlah ruang untuk saling menjatuhkan atau menebar kebencian, melainkan wadah untuk membangun kebaikan bersama, menjunjung tinggi keadilan, dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Dengan nilai-nilai Islami sebagai pedoman, setiap pelaku politik diharapkan mampu menempatkan kepentingan umat dan negara di atas ambisi pribadi, serta menghindari praktik-praktik yang dapat merusak kepercayaan publik.

Politik yang sehat dan konstruktif berarti mengutamakan kolaborasi di atas konflik, persatuan di atas perpecahan, dan kejujuran di atas manipulasi. Dalam perspektif Islam, kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab dan keadilan. Ketika para pemimpin politik menjadikan ajaran Islam sebagai landasan, mereka akan mampu menciptakan kebijakan-kebijakan yang memberdayakan, merangkul seluruh lapisan masyarakat, dan menegakkan nilai-nilai luhur seperti kasih sayang, empati, dan toleransi.

Harapan kita bersama adalah melihat iklim politik Indonesia tumbuh menjadi lebih damai, mengedepankan dialog yang penuh hikmah, serta menolak segala bentuk fitnah dan kebencian. Dengan begitu, politik bisa menjadi sarana yang efektif untuk menciptakan kesejahteraan, perdamaian, dan kemajuan bagi seluruh rakyat, sesuai dengan ajaran Islam yang mulia.

Exit mobile version