Opini  

Otak Generasi Z Diretas AI? Saatnya Berpikir atau Jadi Robot!

Mewarta.com. Opini – Kita hidup di era AI, katanya. Sebuah ‘keajaiban’ teknologi yang meniru otak manusia, yang katanya bisa menjawab semua persoalan, bahkan yang paling rumit sekalipun. Tujuannya mulia: menciptakan sistem yang belajar sendiri. Tapi tunggu dulu! Apakah kita benar-benar memahami implikasi dari ‘kemandirian’ belajar ala mesin ini?

AI memang pintar meniru cara manusia memecahkan masalah. Ia bisa merespons obrolan kita, memberikan jawaban instan, dan membuat keputusan berdasarkan data. Tapi di sinilah letak bahayanya! Generasi Z, generasi yang tumbuh besar di era digital ini, terlalu mudah terpukau dengan ‘kemudahan’ yang ditawarkan AI.

Coba lihat di kampus-kampus! ChatGPT dan aplikasi AI lainnya sudah menjadi sahabat karib mahasiswa. Mereka bisa mencari jawaban tugas tanpa perlu memeras otak, menemukan referensi skripsi dalam sekejap mata. Sekilas, ini memang membantu. Tapi mari kita jujur pada diri sendiri: apakah ini benar-benar membantu kita belajar, atau justru membuat kita semakin malas berpikir?

Mereka bilang AI punya sisi positif: jadi referensi tugas, teman diskusi untuk berpikir kritis, bahkan alat cek akurasi. Katanya, AI juga membantu dosen menganalisis kemampuan mahasiswa. Kedengarannya indah, bukan? Tapi jangan sampai kita dibutakan oleh janji-janji manis ini!

Di balik kemudahan itu, tersimpan bahaya laten yang menggerogoti fondasi intelektual Generasi Z. Ketergantungan! Ya, ketergantungan yang akan membuat otak kita layu sebelum berkembang. Setiap kali ada tugas, bukannya berpikir keras, kita malah langsung bertanya pada AI. Kita menjadi generasi ‘copy-paste’ ulung, tapi miskin gagasan orisinal.

Kita jadi malas membaca buku, enggan menelusuri jurnal ilmiah. Kenapa repot kalau semua jawaban bisa didapatkan dalam hitungan detik dari layar ponsel? Kita terlena dengan kecepatan instan, tanpa menyadari bahwa proses belajar yang sesungguhnya justru terletak pada perjuangan mencari, menganalisis, dan merangkai informasi dengan pikiran kita sendiri.

Dan inilah mimpi buruk yang sebenarnya! Generasi Z yang terbiasa dengan jawaban instan akan kesulitan di dunia kerja yang sesungguhnya. Dunia kerja tidak hanya membutuhkan jawaban cepat, tapi juga kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah yang orisinal. Bagaimana kita bisa bersaing jika otak kita sudah terbiasa ‘disuapi’ oleh mesin?

Ini bukan hanya masalah individu! Ini adalah ancaman bagi masa depan bangsa Indonesia! Jika generasi mudanya tumpul dan tidak kompeten, bagaimana kita bisa bersaing dengan negara lain yang terus mengembangkan sumber daya manusianya? Kita akan tertinggal, menjadi bangsa yang hanya bisa menjadi konsumen teknologi, bukan inovator.

Setiap tahun, teknologi AI berkembang semakin pesat. Jika kita tidak bisa mengelola dan mengembangkan AI dengan cerdas, jika kita terus membiarkan generasi Z terlena dalam kemudahan semu ini, jangan salahkan jika suatu saat nanti kita hanya bisa menjadi penonton di panggung peradaban dunia.

Sudah saatnya kita bangun! Sudah saatnya Generasi Z sadar bahwa AI hanyalah alat. Alat yang bisa bermanfaat jika digunakan dengan bijak, tapi bisa sangat berbahaya jika kita menjadi budaknya. Mari kita kembangkan AI, tapi jangan sampai AI yang ‘mengembangkan’ kita menjadi generasi yang lemah dan tidak berdaya. Masa depan bangsa ini ada di tangan kita, bukan di dalam algoritma!

Penulis : Muh Anwar. HM