Opini  

Mustad’afin : Lemah yang Terlupakan

Opini. Mewarta.com. isi yang paling bayak disorot oleh kamera ajaran Islam, ialah perhatiannya yang sangat tajam atas nasib para mustad’afiin, ialah mereka yang terpuruk dalam kesulitan sebagai korban atau yang sengaja dikorbankan oleh sebuah sistem. Kelompok Inilah yang berulang kali disentuh Qur’an untuk diangkat dan dibebaskan dari segala tirani yang akan menjerumuskan derajat kemanusiaannya kedalam jurang kehancuran yang nista. Berulang kali pula, sejarah membuktikan bahwa kelompok mereka inilah (man with no island) yang tampil sebagai pendukung utama dalam setiap arena dan kancah sejarah, hanya sebagai pendukung, kemudian dilupakan.

Fir’aun menggelar sejarah dunia negasi proximi yang tiran membangun kejayaannya melalui tangan-tangan kurus dan perut rakyat yang lapar, cambuk dan hardik adalah hardware yang memperlicin segala ambisi dirinya untuk menempatkan dirinya sebagai penguasa penuh.

Kita masih terkagum kagum dengan peradaban piramida yang kemudian dikukuhkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, Tetapi tidak satupun diantara kita pernah mengingat dan menghayati lebih mendalam, pengorbanan ribuan para mustad’afin yang mengorbankan segalanya sebagai tumbal sebuah sistem tirani.

Di zaman fir’aun, gengsi diukur oleh berapa banyaknya budak pengiring yang dengan mudah dihardik dan dicambuk, tenaganya diperas, dan hasilnya dipetik untuk program pembinaan para ningrat dan bangsawan dalam ukuran besar dan mercusuar. Dalam setiap sejarah, kita pasti akan berjumpa dengan kisah penderitaan anak anak manusia yang miskin dan terhina, menjerit tanpa ada yang mau menyahut, menangis tanpa ada yang mengasihani, mengeluh tanpa ada yang mendengar!

Maka tengoklah sejarah para Nabi dan Rasul sebagai ulul ’azmi tauladan ahlak manusia, mereka tumbuh dan dibesarkan dari kelompok dzu’afa ini. Ali Shari’ati membedakannya dengan agama Ibrahimyah dan non Ibrahimyah. Kelompok Ibrahimyah adalah mereka yang datang dari Ummah, menderita bersama dengan para fakir dan miskin, dihinakan dan dikejar dengan tetap bersanding mesra dengan mereka. Sebaliknya non Ibrahimyah seperti Gautama, Zoroaster, Lau Tse, mereka datang dan dibesarkan dalam Istana, Sidharta anak raja, Lao Tse adalah anak pejabat tinggi dalam Dinasti kerajaan Cina.

Begitu besar perhatian dan rasa cemas Rasul pada bahaya kemiskinan, sehingga Rasulullah memberikan statement agar kita wanti-wanti , seraya bersabda Sesungguhnya, Kefakiran ini dapat merangsang dan menyebabkan orang menjadi kufur.

Qur’an sendiri secara nyata memberikan peringatan agar umat Islam jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah dan dilemahkan (mustad’afin). Bahkan seorang muslim yang tidak mau peduli dengan orang yatim, orang lemah, orang miskin, mereka disebut sebagai pendusta agama. Adalah Rasul dan para sahabat yang senantiasa menghabiskan waktu senggangnya dengan para dzu’afa.

Kita harus mengangkat orang-orang lemah itu, bahkan kitapun harus mampu menghilangkan segala bentuk kelemahan. Sebab itu alangkah durjananya orang yang berupaya untuk melemahkan dan memelihara orang-orang lemah sebagai komoditi.

Ratusan milyar rupiah telah disedot dari kantong orang lemah itu, dan sayangnya uang itupun tak sempat mereka nikmati. Produktifitas menurun, karena semalam suntuk mereka mengutak ngatik kertas dengan segala tanda angka dan huruf yang rumit, mencari illah dan ilham kemujuran. Gerakan klenik dan segala paganisme yang berbau kemenyan mengepul ke udara, sirik !

Dalam kondisi seperti ini mungkinkah kita terus berasyik-maksyuk dengan budaya verbalisme, sementara kapal sudah mau tenggelam, para kelasi dan kapten tetap asyik diskusi di kamar VIP yang ber AC. Kalau saja para Ulama itu bersepakat dengan penuh kesungguhan tentang nasib para dzu’afa. tentulah selalu ada jalan keluar yang paling baik .

Ah ….sungguh kasihan orang-orang yang lemah itu, dia selalu jadi korban dalam setiap panggung kehidupan. (Anwar)