Mewarta.Com, Makassar-Tradisi Uang Panaik tentu tidak terlepas dari sejarah panjang yang pernah terjadi di daerah suku bugis-makassar. Awal mula munculnya tradisi Uang Panaik ini yaitu pada masa kerajaan Gowa Tallo pada abad ke XVII yang diketahui bahwa kerajaan Gowa mencapai puncaknya bahkan memegang Hegemoni dan Supremasi di daerah Sulawesi Selatan, bahkan di daerah Indonesia bagian timur pada umumnya. Saat itu ketika seorang laki-laki yang ingin meminang keluarga dari kerajaan atau keturunan raja, maka dia harus membawa seserahan yang menunjukkan kemampuan mereka untuk memberikan kesejahteraan dan kenyamanan bagi istri dan anak-anaknya kelak dengan kata lain lelaki tersebut diangkat derajatnya dan isi seserahan tersebut berupa Uang Panaik yang menjadi syarat wajib dan mutlak untuk dipenuhi. Uang Panaik kemudian berkembang hingga lapisan kasta bawah bila ingin menikahi anak gadis dari masyarakat suku Bugis, anggapan mereka tentang Uang Panaik yang tinggi akan bertujuan untuk mengetahui kesungguhan laki-laki yang ingin menikahi anak gadisnya.
Uang Panaik dalam tradisi suku bugis telah menjadi aturan main yang wajib dipenuhi calon suami dalam perkawinan. Ini merupakan salah satu tanda kesungguhan dan penghormatan kepada calon istri beserta keluarganya. Uang Panaik juga dipandang sebagai nilai soaial atau derajat sosial ditengah masyarakat, semakin tinggi Uang Panaik yang diserahkan, maka akan semakin terpandang seorang calon suami dimata masyarakat pada umumnya dan dimata calon istri pada khususnya. Hal ini dikenal dalam Bahasa bugis sebagai “siri” atau harga diri yang harus dijaga eksistensinya oleh setiap masyarakat suku bugis. Dari siri inilah yang menjadi dasar jumlah nilai dari Uang Panaik yang diserahkan seorang calon suami kepada calon istri yang akan dinikahinya.
Perkawinan dalam tradisi masyarakat suku bugis tidak bisa lepas dari pertimbangan derajat sosial dan keadaan ekonomi. Hal ini menjadi salah satu sebab lahirnya jumlah Uang Panaik yang akan diserahkan oleh calon suami kepada calon istri. Ketika seorang calon istri memiliki derajat sosial yang tinggi, maka akan sangat berpengaruh terhadap Uang Panaik beigtupun dengan keadaan ekonomi juga menjadi salah satu acuan dalam penentuan Uang Panaik perkawinan.
Melihat realitas yang terjadi saat sekarang, Uang Panaik telah lepas dari hakikatnya mengenai kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi wanita pilihannya. Justru Uang Panaik menjadi sebuah ajang gengsi ditengah masyakarat dan telah menjadi penyakit sosial. Mereka lebih senang dan merasa bangga serta menganggap dirinya berada pada derajat sosial yang tinggi ketika Uang Panaik yang mereka serahkan atau mereka terima juga lebih tinggi.