Opini  

Melawan Arus Hedonisme: Haji dan Qurban, Pukulan Telak bagi Para Pecinta Dunia!

Mewarta.com. Opini – Di tengah gemerlap dunia yang terus membius, di tengah ambisi yang tak pernah padam, ada dua momentum yang datang laksana badai, merobek tirai kepalsuan dan menelanjangi kesombongan kita: Ibadah Haji dan Qurban. Jangan pernah berani menganggapnya sekadar ritual tahunan, agenda sosial, atau parade kekayaan! Ini adalah tamparan keras dari Tuhan, sebuah seruan memekakkan telinga bagi jiwa-jiwa yang telah lama terlelap dalam buai fatamorgana dunia.

Lihatlah jutaan manusia berdesakan di Baitullah, berpakaian ihram serupa kain kafan, meninggalkan segala atribut duniawi. Di sana, di tengah terik matahari yang membakar, tak ada lagi CEO, tak ada lagi politikus, tak ada lagi selebriti. Yang ada hanyalah hamba-hamba telanjang dihadapan Zat yang Maha Perkasa. Beranikah kau membanggakan hartamu di hadapan Ka’bah? Beranikah kau menyombongkan jabatanmu saat jutaan orang lain merangkak bersamamu di Arafah?

Ini bukan hanya perjalanan fisik; ini adalah pembantaian ego terbesar yang pernah kau alami! Setiap langkah tawaf adalah pengakuan kehinaanmu. Setiap sa’i adalah pelarianmu menuju ampunan. Dan puncaknya, di Arafah, saat kau berdiri di hadapan-Nya, berlumuran dosa dan keringat, sadarkah kau betapa tak berdayanya dirimu? Segala rencana, segala ambisi, segala kebanggaan, melebur menjadi debu di hadapan keagungan-Nya. Kau hanya setitik debu di hamparan semesta-Nya.

Lalu datanglah Idul Qurban. Jangan berani-berani kau anggap ini sekadar “menyembelih hewan.” Ini adalah simbol paling brutal dari pengorbanan. Bukan hanya domba atau sapi yang disembelih, tapi nafsu serakahmu, egomu, kesombonganmu, cintamu pada dunia yang filah! Darah yang mengalir dari hewan qurban itu adalah metafora dari darah keinginanmu untuk mendominasi, untuk memiliki, untuk menjadi yang terhebat di mata manusia.

Saat pisau tajam itu menembus leher hewan, seharusnya ia juga menembus dinding-dinding kesombongan dalam hatimu. Jika kau mampu mengorbankan hartamu, lalu mengapa kau masih pelit untuk mengorbankan waktu, tenaga, bahkan dirimu sendiri demi Tuhan? Apakah qurbanmu hanyalah pencitraan semu agar disebut dermawan? Atau memang benar-benar sebuah penyerahan total, sebuah pengakuan bahwa segala yang kau miliki adalah titipan belaka?

Haji dan Qurban adalah cermin. Cermin yang tak pernah berbohong, yang tanpa ampun menunjukkan betapa rapuhnya kita. Mereka mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, semua kemewahan, semua kekuasaan, semua pujian manusia, tak berarti apa-apa di hadapan takdir Illahi. Kita hanyalah hamba yang tak berdaya, bergantung penuh pada rahmat-Nya.

Jadi, ketika kau menyaksikan musim Haji dan Idul Qurban, jangan hanya terpukau dengan keramaiannya. Rasakan dentuman keras di dadamu, biarkan air matamu mengalir karena kesadaran akan kehinaan diri. Sadari, betapa pun tingginya posisimu di mata manusia, di hadapan-Nya kau hanyalah seonggok daging yang siap kembali ke tanah. Siapkah kau menerima kenyataan pahit ini, dan tunduk sepenuhnya pada kehendak-Nya?

Penulis : Muh Anwar. HM