Opini. Mewarta.com. Betapa sederhananya, apabila manusia hanya sekedar ada (being). Lantas apa bedanya dengan pohon dan kucing. Manusia sadar akan keberadaannya, dia melihat dan menghayati dirinya secara jasadi dan batini. Sedangkan kucing, tidak menyadarinya, tidak dan atau mau mengerti. Sebab kalau kucing mau untuk mengerti, menganalisa ke ada nya, niscaya dia mampu secara aktif dan sadar menempatkan dirinya dan mengambil peran dalam posisinya sebagai kucing, yang tentunya mustahil.
Tetapi tengoklah manusia! dia bukan hanya ada secara materi, tetapi juga ada secara ruhani. Manusia mampu mengerti dan mengambil posisi dalam keberadaannya itu. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan eksistensi (eks sama dengan menghadap keluar, sistensi artinya mengambil posisi, jadi eksistensi dimaksudkan sebagai kesadaran manusia untuk melihat dunia dan mengambil peran dalam keduniaannya itu.
Demikian halnya dengan pribadi muslim! Dia harus mengambil peran dalam kehadirannya dimuka bumi ini. Dan bagi manusia, dia tidak bisa terbebas dari peran, kalau kita berkata, saya tidak mau memegang peranan, sebenarnya dia berperan sebagai orang yang tidak berperan, sebagaimana manusia harus memilih dan memihak.
Maka tampaklah bahwa setiap muslim harus menempatkan peran dirinya, dan peran ini harus dimengerti dan sekaligus memberikan arti. Pantaslah Rasulullah bersabda bahwa sebaik-baik manusia dihadapan Allah adalah orang yang paling bermanfaat (mempunyai arti), bagi manusia.
Kalau manusia mengambil peran tanpa arti, maka apa bedanya secara hakiki dengan benda lainnya?. Karenanya, seorang Muslim itu, harus mampu dan tak mengenal lelah terus berusaha untuk memahami segala sinyal, phenomena dan objek diluar dirinya sebagaimana dia terus berjuang untuk menyelami dirinya untuk mendekati batas hakiki. Hanya dengan kemauan untuk selalu mengerti, maka setiap muslim mampu memberikan arti bagi manusia dan lingkungannya .
Manusia yang berarti, bukan hanya dilihat dari segi fungsional saja, karena manusia bukan robot. Tetapi juga harus mampu memberikan arti, sebagai subjek dia aktif untuk mewarnai lingkungannya. Demikian pula hubungan antar muslim, adalah hubungan untuk selalu saling memberikan arti sesuai dengan ikatan aturan agama. Dengan aturan itulah kita bermain di dunia untuk menaburkan benih yang mempunyai arti. Setiap muslim tak bisa merdeka dari ikatan ini. Karena usahanya untuk memberi arti adalah sia-sia tanpa ikatan agama.
Sejarah dan para filosof sudah memberikan i’tibarnya bahwa banyak kesengsaraan dan hukuman bagi manusia, dikarenakan kemerdekaannya sendiri dalam pengertian terlepas dari ikatan agamanya. Kemerdekaan tanpa moral, membuat manusia terperangkap dalam arus yang pada dasarnya adalah hukuman juga yaitu membuat dirinya terbelenggu. Ironis memang, terbelenggu atau terjajah oleh kebebasan.
Dengan demikian, setiap pribadi muslim harus benar-benar menghayati makna Iqra, ayat yang paling awal dari 6666 ayat Qur’an, yang tidak lain, harus menggedor diri kita semua, bahwa hanya dengan mau mengerti, mau membaca dan menjadikan diri punya arti, maka martabat muslim akan membumbung ke langit.
Betapa kandungan Iqra, merupakan satu perangkat yang utuh dan memberi dampak pengertian yang sangat luas. Dalam kandungan ini, ada dimensi penciptaan, karsa dan karya khalaq, ada dimensi riil yang mengacu pada kehidupan ‘alaq, moral kemuliaan Al-akram, dimensi gerak scientific ‘alama dan saran komunikasi untuk mempresentasikannya yaitu qalam .
Sebab itu, muslim bukan hanya hadir, tetapi juga untuk aktif, becoming!. Arti rahmatan lil alamin, hanya akan menjadi simbol mati, apabila tidak memberikan arti. Sehingga dia selalu masuk dalam arsip kehidupan, melalui daya karsa dan karyanya yang mulia bermoral dan berwawasan Islami yang disentuh melalui jaringan ilmiyah serta mampu membangun infrastruktur yang professional untuk mewujudkan segala impiannya dalam bentuk amal yang nyata dan terasa adanya .
Dengan semangat untuk selalu memberi dan menjadikan hidup penuh arti, jadilah dia seorang yang menjadi perhitungan, dirindukan dan dinantikan, bukan sebaliknya “ada” nya seorang muslim tidak memberikan nuansa apapun, bukannya dirindukan malah dilupakan. Bukan dinantikan, malah ditinggalkan. Kebawah tak berakar, keatas tak berpucuk, kedalam tak menggenapkan, keluar tak mengganjilkan.
Ada dan tiadanya sama saja!.
(Anwar)