
Mewarta.com. Opini – Setiap tanggal 11 Oktober, dunia memperingati Hari Anak Perempuan Sedunia — sebuah momentum untuk menyoroti potensi sekaligus tantangan besar yang masih dihadapi anak perempuan. Di balik perayaan yang tampak penuh semangat ini, tersimpan kenyataan pahit: jutaan anak perempuan masih berjuang untuk mendapatkan hak-haknya yang paling mendasar. Tidak terkecuali di Indonesia, di mana berbagai persoalan seperti putus sekolah, kekerasan berbasis gender, pernikahan anak, dan keterbatasan akses kesehatan reproduksi masih menjadi masalah serius.
Pendidikan menjadi pintu utama menuju masa depan yang lebih baik bagi anak perempuan. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) mencatat bahwa angka partisipasi sekolah anak perempuan di daerah pedesaan masih lebih rendah dibanding anak laki-laki, terutama di jenjang menengah. Banyak anak perempuan harus berhenti sekolah karena faktor ekonomi, jarak sekolah yang jauh, atau tekanan sosial untuk menikah muda. Padahal, UNESCO (2025) menegaskan bahwa pendidikan menengah merupakan benteng paling kuat untuk mencegah pernikahan anak dan kemiskinan antar generasi.
Kekerasan berbasis gender juga masih menjadi luka sosial yang dalam. Komnas Perempuan (2024) melaporkan ada lebih dari 470 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dan sebagian besar korbannya adalah anak dan remaja perempuan. Kekerasan itu hadir dalam berbagai bentuk: fisik, seksual, psikologis, hingga kekerasan digital. Ironisnya, banyak korban tidak melapor karena takut, malu, atau tidak percaya bahwa keadilan akan berpihak pada mereka.
Masalah lain yang tak kalah mendesak adalah pernikahan anak. Data BKKBN (2023) menunjukkan sekitar 8,7 persen perempuan Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Praktik ini paling banyak terjadi di daerah pedesaan dan di keluarga berpenghasilan rendah. Pernikahan dini bukan hanya merampas masa kanak-kanak mereka, tetapi juga meningkatkan risiko kehamilan berbahaya, komplikasi kelahiran, serta keterbatasan akses ekonomi dan pendidikan.
Di sisi lain, isu kesehatan reproduksi anak perempuan masih sering dianggap tabu. Banyak remaja tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang tubuh dan kesehatannya karena anggapan bahwa pendidikan seks adalah hal yang “tidak pantas”. Padahal, WHO (2025) menegaskan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif dapat menurunkan risiko kehamilan remaja dan kekerasan seksual. Kesehatan reproduksi bukan persoalan moral, melainkan hak dasar manusia.
Momentum Hari Anak Perempuan Sedunia seharusnya menjadi panggilan moral bagi semua pihak: pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk berbenah. Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan perlindungan anak, namun implementasinya masih lemah dan belum menyentuh akar sosial budaya. Dunia tidak akan benar-benar maju jika anak perempuan masih tertinggal. Memberdayakan mereka bukan sekadar soal kesetaraan gender, tetapi investasi bagi masa depan bangsa. Ketika anak perempuan berdaya, berpendidikan, sehat, dan bebas dari kekerasan, maka sesungguhnya kita sedang menyiapkan generasi penerus yang kuat — bukan hanya untuk Indonesia, tetapi untuk kemanusiaan.
Penulis : Dr. Hj. Andi Halimah, M.Pd
Dosen Senior FTK UINAM












