Mewarta.com. Opini – Education World Forum 2024 akan membahas AI, ketahanan manusia, dan perubahan iklim. Terdengar global dan relevan, bukan? Tapi mari kita jujur pada diri sendiri, terutama dalam konteks Indonesia. Apakah kita benar-benar siap dan memiliki arah yang jelas dalam menghadapi gelombang AI yang katanya akan mengguncang dunia pendidikan kita?
AI! Kata ini bagai mantra yang diucapkan di setiap sudut internet, koran, bahkan obrolan warung kopi. UNESCO pun ikut bersuara, melihat potensi AI untuk mengatasi tantangan pendidikan dan mewujudkan SDG 4. Tapi tunggu dulu! Di Indonesia, kita masih berkutat dengan pemahaman personal, belajar otodidak dari internet. Sementara guru-guru mulai resah melihat anak didik menelan bulat-bulat informasi dari AI tanpa proses verifikasi sedikit pun.
Ironisnya, keakraban kita dengan buku sebagai sumber ilmu itu terbilang singkat. Padahal, di sanalah esensi belajar yang sesungguhnya tertanam: ketekunan membaca, mencari argumen kunci, menyintesis berbagai perspektif hingga menemukan jawaban yang utuh. Proses yang melatih otak kita untuk berpikir mendalam dan komprehensif.
Lalu datanglah internet, dan kini AI, menawarkan jalan pintas informasi. Lebih cepat, katanya. Tapi validitasnya? Kita membutuhkan ‘stock of knowledge’ yang kuat untuk menilai kebenaran informasi dari AI. Intelektualitas guru dan siswa menjadi benteng terakhir. Tapi bagaimana jika benteng itu sendiri belum cukup kokoh?
Coba tengok media sosial! Banjir video yang menjanjikan produktivitas instan berkat AI. Cari referensi, ringkas artikel, bikin karya ilmiah – semua jadi semudah menjentikkan jari. Daya tariknya memang kuat, membuat kita terlena dan berpotensi tinggi untuk bergantung pada ‘kemudahan’ semu ini. Kita jadi kurang menghargai proses, padahal di sanalah pembelajaran yang sesungguhnya terjadi.
Ambil contoh membaca artikel ilmiah. Dulu, kita harus bersusah payah memahami bahasa asing, menggali substansi, dan menyintesis informasi. Kini, AI bisa merangkum poin-poin penting dalam sekejap. Kita bahkan bisa bertanya lebih lanjut dan AI akan menjawab berdasarkan artikel tersebut. Praktis memang, tapi di mana letak perjuangan kita untuk benar-benar memahami dan menginternalisasi ilmu?
Jadi, apa yang perlu kita lakukan? Teknologi memang alat, tapi pendidikan bukan sekadar soal efisiensi. Tugas utama kita adalah melatih pikiran anak-anak untuk berpikir kritis. Dan untuk itu, kita tidak bisa hanya mengandalkan teknologi.
Di era banjir informasi ini, kita harus kembali pada hal-hal fundamental. Membaca dengan tekun, menguliti setiap kata, mengkritisi, membandingkan, dan mendiskusikan. Di sanalah budaya ilmiah dibangun, tahap demi tahap. Ada skeptisisme, pengujian, dan perenungan. Bukan sekadar mengunduh semua informasi ke gawai lalu merasa pintar karena ada AI.
Kita harus menanamkan pada benak anak-anak bahwa apa pun yang dihasilkan AI, pada awalnya patut diragukan. Harus dipertanyakan ulang, ditelusuri sumber aslinya. Di sinilah peran pendidik menjadi krusial: membangun kekuatan pikiran agar tidak mudah terperangkap oleh jawaban ‘memesona’ dari AI yang belum tentu akurat.
Berpikir kritis adalah senjata utama anak-anak kita dalam menghadapi dunia yang penuh kepalsuan dan disinformasi. Latihan berpikir kritis di ruang pendidikan akan membuat mereka peka terhadap segala tawaran dunia, tidak mudah terseret arus berita palsu, pseudosains, atau retorika menyesatkan.
Apalagi, setiap hari kita dibombardir dengan klip-klip singkat di media sosial yang validitasnya seringkali dipertanyakan. Jika itu yang menjadi rujukan kebenaran, betapa bahayanya bagi masa depan bangsa. Ingatlah, pendidikan adalah aktivitas moral dan politis, tujuannya adalah mengejar kebaikan bagi umat manusia. Jangan sampai AI justru menjauhkan kita dari tujuan mulia itu!.
Penulis : Muh Anwar. HM